Visitor

Jumat, 10 November 2023

Red Door in The Garden

Oleh: Inas Aliyah Nida
                              
“Bukan begitu, Ayah,” ujar Paman sambil mengelus-elus pelan siku tangan kirinya yang sudah terbungkus oleh perban coklat. 
     
     Aku meringis melihat paman yang setiap menit bahkan setiap detik menyangga tangan kirinya. Ia mengeluh pada kakek atas apa yang telah menimpanya, berharap kakek bisa memberi solusi atau sekedar menenangkannya dengan beberapa kalimat bernada damai dari ayah beliau. Ngilu. Pikirku.

“Mungkin kamu terlalu lelah dari pekerjaan kantormu yang 2 minggu akhir ini sungguh menumpuk. Sampai-sampai kamu tidak fokus dengan jalan.” 

“Tidak, Yah. Waktu itu aku benar-benar tidak mengantuk, benar-benar fokus. Dan kebetulan sebelum pulang, aku sempat minum 1 cup kopi. Weird kan Yah?” ujar pembenaran yang kedua kali dari Paman ini hanya mampu membuat Kakek geleng-geleng kepala menyatakan beliau tidak sependapat lagi dengan Paman.

“Hey, Zie, kamu pasti setuju dengan Paman.” Mendadak paman mengikutkanku di perdebatan kecil ini. Siapa yang mengira aku akan menjawab. Aku hanya memanggutkan kepala ragu-ragu dengan memasang raut muka bingung.

     Kami untuk 1 minggu ini menginap di rumah kakek. Rumah kakek kali ini penuh dengan anak-anaknya dan cucunya. Sungguh ramai. Ini akibat dari tragedi malam Minggu yang menimpa paman. Bibi, ibu, juga ayah ribut mempermasalahkan kejadian yang terlanjur terjadi. Mereka sibuk mencari bukti-bukti yang mereka tangkap dari cerita paman. Menolak beberapa opini dan sebaliknya mempertahankan opini masing-masing.
     Aku yang hanya mampu mengayunkan kedua kakiku yang tak menapak saat duduk di kursi tamu dengan mencoba memahami kata per kata yang mereka lontarkan. Itu sungguh pembicaraan serius yang tak akan masuk pada pemikiran anak umur 12 tahun sepertiku.

“Tapi Kak, malam itu aku lewat di jalan pintas menuju Perumahan Blue Sky di sebelah perumahan kita, nah disitu ada semacam jalan setapak penuh lumpur. Memang cukup gelap, Kak,” lanjut paman. 

“Perumahan Black Diamond?” tanya Ibu. 

“Iya, disitu ada jalan pintas dari Perumahan Blue Sky ke perumahan kita. Masa, Kak Florist gatau sih?” 
     Aku diam mendengar ini. 

“Betul kata Ayah, kau pasti tidak fokus saat itu. Mana ada jalan pintas disitu, Jav. Kakak  mu ini lebih dulu tinggal disini daripada kamu, hahahah.. ngelantur kamu.” 

“Betul, Paman. Tidak ada jalan disitu. Itu hanya jalan buntu.” Akhirnya aku berkecimpung juga.

     Paman nyengir tak percaya. Ia protes atas pembenaran yang ku lontarkan yang juga sependapat dengan Kak Florist, ibuku. Beliau kali ini menyerah, tetapi beliau masih percaya disana terdapat jalan pintas.

“Sudahlah, Jav. Lebih baik sekarang kau fokus dengan merilekskan diri dulu. Kau pasti syok atas kejadian kemarin,” ujar ibu sembari menepuk pelan pundak kiri paman Java.

“Tapi kak..”

“Java, Vindy, Florist, Rick ajak anak-anak mu makan sekarang....!” seru kakek. Suara itu hampir memenuhi tiap sudut ruangan. Amat nyaring.

     Aku dan 2 sepupuku berlari lebih dahulu. Lantas berebut di satu kursi tunggal yang berada tepat di titik belahan meja makan. Aku tidak tahu, seberapa istimewanya dapat menempati itu. Seberapa kerennya saat salah satu diantara kami bisa duduk disana. Dan kau tahu apa alasannya? Tidak ada. Kami hanya ingin mencoba saja. 

“Hush, hush! Kalian sudah dipersiapkan tempat duduk sendiri tepat di samping orang tua kalian masing-masing,” jelas Nenek Heather. 

     Kami bertiga serempak diam. Menundukkan kepala berjama’ah. Tak ada yang berani menjawab sepatah kata. Diam sejenak, lantas pergi lalu segera duduk berbarengan di kursi kosong samping ibu, ayah. Ya, begitulah. Seolah-olah hanya Kakek Victor yang berhak duduk disana. 
     Sebelumnya, aku tak pernah melihat keberadaan Nenek Heather. Sikuku menyenggol lengan ibu. Aku sengaja melakukan itu. Hal yang sempat membuatku janggal, ku bisikkan segera ke telinga ibu. Nenek Heather ialah istri kedua kakek usai beliau menalak Nenek Larissa, jelas ibu. 

“Paham?”
 
Aku diam menanggapi ibu.

“Jika kau tak paham, kita bahas ini nanti saja. Jangan sampai kakek tahu kita mengobrol saat makan keluarga, kita akan mendapat 2 tamparan sekaligus!” 

     Lantas aku menyempurnakan duduk. Menghadapkan kepala ke depan. Menaruh kedua tangan di  atas meja di samping piring berisikan 1 lembar tisu. Menunggu sesendok besar nasi ditumpahkan ke masing-masing piring berdiameter 25 cm dihadapan kami. Nenek Heather dibantu dengan Mbak Tita, asisten rumah tangga kakek untuk membagi lauk pada kami secara bergilir. Mungkin, timbul pertanyaan, mengapa tidak mengambil sendiri-sendiri saja?Dengan begitu kita bisa mengambil lauk sekenyangnya. Tidak. Menurut ibu diambil dari penjelasan kakek, alasan kakek tidak mengijinkan anak-anaknya juga cucu-cucunya agar mengambil nasi serta lauk sendiri dan bisa sepuasnya menyantap hingga kenyang. Ia tak ingin kami menjadi seorang yang rakus dan memakan sesuai apa yang dihadapannya. Tidak menambah.

“Itu dia!”

Sontak suara paman mengagetkan di tengah-tengah detingan piring, sendok beradu.

“Itu kak! Perempuan itu yang ku lihat terakhir kali sebelum musibah menimpaku!”

     Semuanya menatap heran pada Paman Java. Kecuali Kakek Victor. Paman masih tetap dengan posisi telunjuknya terangkat mengarah ke dinding sebelah kanan ruang makan di rumah kakek. Terpampang lukisan berbingkai perempuan dengan gelungan pirang memakai gaun hitam mengembang. Di sampingnya terdapat payung hitam yang masih terlipat rapi tergeletak pas di sisi kanan vas bunga putih dengan bunga lili putih. Tidak ada yang salah dengan lukisan tersebut. Tapi mengapa paman mengaitkannya dengan tragedi malam Minggu 2 hari lalu?

“Java!” 

Plak. Plak.

     Hening merayap. Tak ada lagi bising piring, sendok bertabrakan. Bulu romaku berdiri. Aku berusaha meletakkan sendok tanpa menimbulkan bunyi ‘ting’. Ayah, ibu, dan bibi menunduk gemetar. Tampak dari kedua bahu mereka yang agak berguncang. 2 sepupuku sama-sama menimbun air mata. Sedangkan aku, menyaksikan iluh bening paman terjun tanpa mengenai pipi lantas meninggalkan jejak membentuk 1 lingkaran kecil di taplak meja makan dengan warna merah maroon.
     Tatapan tajam kakek berubah mengarah padaku. Sontak aku menunduk seperti yang lain. Seperti bukan kakek, pikirku.
     Seusai kejadian tadi, kami semua berusaha menghapus ingatan tersebut dari memori. Mengobrol ringan di depan televisi antik dengan layar cembung. Rick, ayahku dengan Kakek Victor bersantai di ruang tamu dengan menyesap secangkir kopi hitam. Unik. Cangkir berukiran rumit itu tampak langka di mataku. Warna toska yang hampir pudar dengan sedikit ukiran kecil berwarna coklat mendominasi cangkir putih tulang di pegangan ayah dan kakek. Sementara 2 sepupuku dengan mudahnya lupa atas peristiwa yang baru saja terjadi. 
     Pandanganku menyebar ke 2 ruangan yang menyatu. Ruang tamu dan ruang keluarga. Mataku tak mendapati sosok itu. Paman Java. 

“Bu, Zizie mau ke kamar mandi dulu ya...” ijinku.

     Aku tidak ingin ke kamar mandi. Melainkan mencari Paman Java. Meminta penjelasan tentang ucapan tadi.

Tok. Tok. Tok.

“Pak Victor...”

     Aku menghentiksn langkah menuju ruang belakang. Berlari kecil lantas mengintip.

“Iya pak? Ada yang bisa saya bantu?” balas kakek.

“Perkenalkan saya Pak Windu dari Perumahan sebelah. Emm... Saya ingin membeli beberapa karung tomat, kangkung,  bayam, dan wortel. Tidak saya tentukan jumlahnya. Sisa untuk hari ini saja saya langsung angkut. Dan kebetulan saya kesini membawa mobil.”

“Boleh, Pak. Sebentar saya bawa ke depan.” Ujar kakek. Beliau melangkah menuju belakang rumah.  

     Mengapa orang baru itu langsung percaya? Mengapa kakek tidak mempersilahkan untuk melihat-lihat terlebih dahulu barang produksi kakek?

     Kakek sekarang berprofesi sebagai penjual sayur. Namun tak berjualan keliling. Beliau hanya memasang spanduk untuk menandakan bahwa ia menjual sayur-sayur dari hasil menanam sendiri. Dari cerita ibu, sayuran dari kebun kakek lah yang paling bagus. Kakek tak pernah gagal dalam menanam. Tetangga-tetangga sering berbelanja pada kakek dan tak jarang membeli dalam jumlah besar. Warga Perumahan Black Diamond suka pada sayuran kakek yang selalu terlihat segar. Katanya, ibu juga pernah mendapati beberapa warga bahkan tak mau membeli selain pada Pak Victor, kakekku.

“Paman!”

“Hai! Ngapain kamu kesini?” sontak senyumnya mengembang. 

“Tidak apa-apa. Ingin mencari paman saja.” aku lantas berusaha duduk di samping paman. Mencari posisi nyaman untuk menanyakan perkataan paman tadi siang.

“Tidak mungkin.” Jawabnya. Datar.

“Apa maksud perkataan paman tadi siang? Siapa wanita itu? Apa hubungannya dengan tragedi paman?” 

“Paman berharap, kamu satu-satunya yang percaya dengan paman. 2 hari yang lalu paman benar-benar lewat jalan pintas itu. Wanita itu yang membuat paman kehilangan fokus sebelum mobil paman terperosok.”

“Dan 1 lagi. Ayah Victor tak pernah sesekali menampar anaknya atau cucunya saat tak sengaja berbicara ketika makan keluarga, walau ayah sering mengatakannya.” Lanjutnya.

     Aku pun merasakannya.

“Paman, ayo ke kebun kakek!” berharap paman dapat melupakan kejadian tadi siang.

     Beliau mengangguk lantas menggandengku menuju kebun kakek di belakang rumah.

“Aku tak pernah melihat kebun kakek.” gumamku sembari berjalan dalam genggaman paman.

     Sampai. Aku mendongak lalu perlahan penglihatanku kebawah. Benar-benar besar!. Kami diam sejenak. Memandang sekeliling. Ruangannya memanjang, pikirku. Ku lepas genggaman paman dan berlari riang hendak membuka pintu merah yang membelah kebun kakek menjadi 2. 

“Zizie, jangan dibuka!” seru paman.

     Aku berhenti. Membalikkan badan menghadap Java, pamanku.

“Kenapa?”

“Kakek tidak membolehkan siapapun memasuki, kecuali kakek sendiri.” 

     Aku mengangguk. Kejanggalan apa lagi ini?.

     Pukul 10.59 malam. Aku masih terjaga di ruang tidur bekas Nenek Larissa dulu. Telingaku masih setia mendengarkan detakan jarum jam yang sebentar lagi berdentang 11 kali sebab menunjukkan pukul 11 tepat. Jam berdentang. 
     Sekelibat bayangan lewat di depan pintu. Kebetulan pintu kamar tidak ku inap sepenuhnya, hanya separuh. Aku bangun. Berusaha tak menimbulkan suara saat melangkah, hingga aku sampai di pintu kamar lalu mengintip. Dan mengetahui bahwa Kakek Victor dan aku yang masih terbangun malam ini. Aku melangkah pelan beberapa meter di belakang kakek. Mengendap-endap lalu bersembunyi. Begitu seterusnya hingga aku tahu kakek pergi masuk ke ruangan berpintu merah. 

“Terima kasih sudah memberi pelanggan lagi, walau Java tak jadi lenyap malam itu.” ucap kakek.

     Java? Paman Java!

“Berikan aku 1 orang sebagai penggantinya!” suaranya berat.

      Itu siapa?.

     Itu yang sempat ku dengar saat menempelkan telingaku pada lubang kunci di bawah gagang pintu merah. Segera ku berlari cepat sebelum keberadaanku diketahui oleh kakek. Sampai di kamar. Menutup pintu rapat. Lantas mengcover diri dengan selimut. 

“Paman harus tahu hal ini.” Gumamku. 

     Usahaku kali ini untuk menutup mata dan masuk dalam alam mimpi berhasil. Ku harap esok hari berhasil ku sampaikan pada paman.

     Selasa. Pagi ini jantungku masih berdetak hebat. Ingin segera mencari keberadaan paman. Apalah daya, ketika aku baru bangun dan membersihkan diri, kakek, ibu, ayah terus-terusan memintaku membantu kepentingan mereka. Terutama kakek. Apa malam itu kakek tahu jika aku menguntitnya dan mendengar pembicaraanya lalu kakek sengaja menyibukkanku dengan semua ini?. 

“Bu, habis dari mana?” tanyaku saat ibu baru saja masuk ke rumah dengan tergesa lalu meneguk segelas air.

“Dari luar, selesai menyapu latar. Itu loh kata tetangga sebelah, Pak Windu dari Perumahan Blue Sky yang kemarin habis mborong sayuran kakek, meninggal.” 

“Namanya juga ajal ya,” lanjutnya.

     Aku tertegun. Membeku. Hanya bisa membulatkan mulut menanggapi ibu. Ku tarik tangan ibu keluar rumah, di latar. 

“Ada apa sih, Zie?”

“Bu, dalam ruangan pintu merah isinya apa?” 

“Ha? Ibu nggak tahu, tanya saja kakekmu.” Balas ibu sambil menyetakkan tangannya dalam genggamanku.
 
     Aku kembali masuk dalam rumah dan mendapati kakek memasukkan sesuatu di loker bawah meja makan bertaplak merah maroon.

     Rabu. 3 hari ini rumah kakek ramai pembeli. Orang-orang hingga diharuskan mengantre untuk bisa membarterkan uang dengan sayur yang mereka inginkan. Mereka menerima sayur dengan tak memudarkan lengkungan bibir. Sesenang itu. Dan selaris itu. 
     Aku meregangkan otot-ototku selepas membantu memikul karung-karung seberat 5kg untuk dijualkan ke orang-orang. Capai. Pintu merah. Memori ini tiba-tiba masuk tanpa permisi. Segera ku mencari dimana keberadaan kakek. Ku intip lewat lubang kunci kamar kakek. Yash, tidurnya pulas!. Aku berlari memasuki tiap ruangan di rumah memastikan setiap orang sibuk dengan kepentingan sendiri-sendiri. Waktu yang tepat! 

“Kunci!” kataku.

     Mungkin sesuatu dalam loker bawah meja makan, itulah kunci. Benar saja, ada kunci bergantungkan benang merah yang diikat di lubang bagian atas kunci. Ku raup dan ku genggam lantas berlari menuju kebun belakang rumah.
     Tergesa ku memasukkan kunci ke lubang kunci dibawah gagang pintu dan memutarnya dengan cepat. Ku tarik napas panjang.
Cklek.

     Terbuka. Merah. Kata itu yang pertama kali muncul di memori. Ku tutup pelan kembali daun pintu. Di siang bolong ini, mataku diperlihatkan beberapa tengkorak kepala bergelimbangan di ubin berlapiskan karpet merah. Dan lilin yang berjumlah lusinan berfungsi menerangi ruangan ini. Tiba-tiba saja bau tajam menyeruak di ruang itu. Anyir! Sembari tangan kanan sibuk menutup hidung, aku berjalan mencari asal bau yang hampir seperti... darah. 

“Astaga! Huekk.” 

     Kakiku tak sengaja menendang sesuatu berukuran sedang dan lemas. Bangkai ayam dengan darah yang masih segar! Itulah yang mengenai kakiku. Nyaris teriak mendapati hal semacam itu. Degupan jantung yang semakin mengeras dibarengi dengan kucuran keringat dingin sempat membuatku ingin berbalik badan , lari, segera keluar dari ruangan merah ini. Tidak. Aku harus tetap melanjutkan.
     Ruangan ini berbentuk memanjang. Panjang berkisar 40 meter sesuai kebun Kakek Victor. Aku masih harus menempuh 20 meter lagi untuk mencapai ujung ruangan merah ini. Di setiap kira-kira 10 meter, terdapat sepiring bunga 7 rupa dengan segelas kopi di tengah lalu 3 buah pisang di sisi kirinya. Tepat di pucuk ruangan ini. Terpampang jelas pigura lukisan wanita bergaun hitam sama persis dengan di ruang makan. Hanya ukuran lukisan di ruang ini 4 kali lebih besar dengan di tembok sisi kanan ruang makan. Pandanganku lantas mengarah ke bawah mendapati kain putih yang agak lusuh, kusut tak terlipat di karpet. Ku coba mengambilnya, hanya memastikan disitu tidak ada apa-apa.
     Sembari ku bolak-balik kain tersebut, aku menyadari banyak sobekan kertas bertuliskan bunga 7 rupa dan nama-nama orang dibawahnya. Dengan berjongkok, pandanganku mengitari sebaran kertas yang rata-rata kusam bekas tanah merah. Sontak mataku tertuju pada kertas putih yang belum terkena kotor tanah bertuliskan “Florist Deeva, Melati”. 

“Ibu?” 

     Untuk apa ini? Aku mundur beberapa langkah dalam tetap berjongkok. Menengok ke arah kanan, mendapati sepiring persembahan bunga 7 rupa dan kopi juga buah serta di sisi kirinya tergeletak kertas kusam dengan posisi terbalik. Ku membaliknya dan mendapati kalimat “Java Victorn, Mawar”. Ku raup kertas bertuliskan nama paman dan ibu, lantas mencari 2 kertas yang usai kusam dengan nama orang lain, lalu ku sergap spidol di bawah pigura. Dengan tergesa, ku tuliskan nama ibu dan  paman. Kedua kertas sebelumnya bernamakan paman dan ibu ku simpan di saku kanan celana. Aku harus segera keluar dari tempat ini.

“Aww.” 

     Pergelangan kakiku berdarah. Meninggalkan jejak 3 cakaran panjang sekitar 7 cm.

“Siapa kau!” 

     Akhirnya aku berani membuka suara walau tubuhku tengah tak seimbang dengan kaki lecet dan nyaris pingsan mendapati makhluk mengerikan di depan.  

“Bilang pada lelaki tua itu, aku lapar!!!” ujarnya.

     Wajahnya rusak. Gaun hitam itu persis dengan lukisan di rumah kakek dan ruangan ini. Lidahnya panjang serta memiliki 2 cabang, seperti ular. Tangan kirinya bersisik, memegang payung hitam rapi yang masih terlipat. Dengan 2 kaki seperti, kuda. Ia memainkan kukunya yang panjang nan hitam dengan bekas merah usai mencakar kakiku. Ya Tuhan, makhluk apa ini.

“Ia berjanji memberiku 1 korban untuk dijadikan tumbal tiap minggunya. Aku sudah meramaikan dagangan sayurnya, tetapi 2 minggu ini ia berkhianat! Aku lapar!” lanjutnya. Ya Tuhan aku harus bagaimana?

     Aku menangis sejadi-jadinya. Membalikkan badan perlahan dengan berlagak pura-pura tidak mendengar perkataannya, lantas lari sekuat tenaga. Sesekali badanku terhuyung nyaris tak sadarkan diri ketika mendengar teriakan nyaring makhluk  itu. Aku sibuk meraba sakuku mencari keberadaan kunci lalu memasukkan ke lubang kunci dengan nafas tersenggal. Berhasil terbuka!. Cepat-cepat ku keluar lantas segera menutup dan mengunci kembali. Ku sandarkan sekejap punggungku ke pintu merah lantas menyadari bahwa 3 cakaran di pergelangan kaki kanan lenyap. 
     Ku petik wortel lalu ku cuci di kran air di samping kebun kakek. Segera masuk rumah dengan menggerogoti wortel di tangan, agar semua orang dalam rumah mengira bahwa aku baru saja selesai ke kebun mengambil wortel untuk camilan. 

“Hai, Zie tumben suka wortel? Hahaha sudah sadar kalau kamu perlu sayuran?” ledek Bi Vindy.

“Ada-ada saja kamu, Nak, “ kata Rick, ayahku yang tengah membaca koran tanpa melihatku.
     Aku tertawa kecil menanggapi mereka dengan kondisi mulut tengah mengunyah. Selepas duduk di ruang makan untuk melanjutkan setengah wortel yang tersisa, lantas  mencari keberadaan sekotak korek api. 

“Yassh, dapat!” gumamku girang. 

     Ku ambil sekotak korek api lalu berlari dan mengendap-endap melihat kakek di kamar melalui lubang kunci pintu kamar, dan masih pulas. Saat yang tepat!. Segera saja ku mempercepat langkah menuju kebun belakang. Ku buka kembali pintu merah lalu masuk lantas ku inap kembali. Ya Tuhan semoga makluk itu tidak ada. 
     40 meter panjang ruangan, ku tempuh dengan berlari hingga mencapai pucuk dimana lukisan itu berada. Ku tanggalkan pigura itu dan mengeluarkan lukisan itu dari bingkai. Satu per satu batang korek api ku nyalakan. Sedikit demi sedikit lukisan wanita bergaun hitam itu lenyap jadi abu. 

“AAAA!” 

     Kertas-kertas beterbangan memenuhi seisi ruangan. Tengkorak kepala mulai retak dan hancur satu per satu. Lilin yang menerangi per satu meterpun mulai padam. Aku harus segera pergi sebelum semua penerangan telah musnah padam. Ku genggam kunci pintu merah berharap tak jatuh saat tengah berlari. Tergesa ku buka pintu, keluar dan cepat mengunci kembali. Dan dengan segera masuk dalam rumah memasang lagak baik-baik saja.
     
“Rick! Florist! Tolong ayah!” suaranya mirip kakek. 

     Aku berlari mencari keberadaan orang-orang dalam rumah yang ternyata sore ini sedang menenangkan kakek di kamarnya. Ku masih mengintip tak berani masuk. Kakek berulang kali mengatakan ‘panas’ sambil bergeliat-geliat di atas kasur. Paman, bibi, ayah, dan ibu sibuk melakukan apa yang bisa mereka lakukan untuk meringankan sedikit masalah kakek kali ini. Bahkan orang tak berdosa yang hendak kau celakai, mau membantumu saat kau susah, pikirku.  

“Itu! Zizie yang membuat kakek begini! Zizie lah yang mencelakai kakek diam-diam!” kata kakek sambil menunjuk-nunjuk ku dengan nada marah dan tetap menggeliat.

     Semua orang menatap ku beku. Ibu, Ayah Rick, Paman Java, Bi Vindy, Nenek Heather, dan Mbak Tita. Kakek Victor masih mengerang kesakitan sebab tubuhnya serasa terbakar. 

“Tidak!” balasku menyangkal pernyataan kakek.

“Paman, ibu, lihat ini!” kataku sekali lagi. 

     Aku mengeluarkan 2 kertas bertuliskan nama mereka. 

“Kakek ingin mencelakai kalian! Selama ini kakek bekerja sama dengan iblis agar ia mendapat sebatas keuntungan dunia!” 

“Itu mengapa setiap pembeli sayuran kakek, tak ada satupun yang melihat lebih dulu barang produksi kakek dan langsung percaya! Dan itulah mengapa warga Perumahan Black Diamond tampak sangat doyan dengan sayuran kakek!”

“Dan ini! Aku diam-diam mengambil kunci dari pintu merah yang selama ini hanya kakek yang boleh memasukinya!” lanjutku.

“Oleh sebab itu, kursi tunggal yang berada di meja makan hanya berhak di tempati oleh kakek. Terdapat loker di bawah meja makan itu, disitulah kakek menyimpannya!”

“Arrggggh! Dasar cucu pembawa bencana!” teriaknya. 

     Ayah Rick, Paman Java, Ibu Florist, Bi Vindy, nenek, dan Mbak Tita lantas semua berdiri di depanku. Mencegah kakek berbuat melampaui batas pada cucunya, aku.

“2 hari lalu paman hampir kehilangan nyawanya, mengalami kecelakaan, itu semua disebabkan kakek menuliskan nama paman di kertas ini untuk kakek jadikan tumbal dan diberikan pada iblis busuk itu!”

“Paman memang benar-benar melihat wanita bergaun hitam di lukisan berbingkai itu! ia tak berbohong! Dan kakek dengan teganya menampar paman...”

“Beruntung Tuhan menyelamatkan paman dari semua ini.” jelasku.

“Dan aku menemukan kertas bertuliskan nama ibu, oleh sebab itu aku menuliskannya di balik kertas nama orang lain yang lepas digunakan supaya mantra tersebut tak bekerja!” 

     Ibu membendung iluh yang mungkin selepas ini akan tumpah. 

“Iblis itu mengatakan semuanya padaku! Ia tidak diberi makan 2 kali pada tuannya, kakek mengkhianatinya! Telah banyak orang tak berdosa yang kakek korbankan! Sungguh keji!” 

“Aku tak ingin keluarga ini dilenyapkan demi kepentingan kakek sendiri!” ucapku marah.

“Lukisan itu baru saja ku bakar! Iblis itu hancur! Apa panas itu sudah kakek rasakan sekarang? Apa kakek sudah mendapat balasannya sekarang?” ocehku, nyaris iluhku tumpah. 

“Ku harap kakek cepat sadar.” Aku diam sesaat.

“Bahwa iblis adalah musuh nyata manusia, bukan tempat untuk menyembah atau bahkan bekerja sama.” Jelasku.

     1 tetes lolos dari bendungan iluh mataku.

     Kami semua pulang saat itu juga dan mengajak nenek ikut serta.

Menyembah selain pada-Nya, itu adalah hal yang salah. Rejeki, jodoh, dan mati di tangan Sang Kuasa. Kuncinya, harus selalu yakin dan tak ragu pada Sang Maha Esa, janji-Nya takkan salah kaprah. 

#ljjs #pemudalumajang #profilepemuda #portalljjs #lumajangkab #journalist #disporalumajang #disporajatim #kadisporalumajang #kabidpemuda #bidangpemuda #16-30tahun #2023 #pemudajurnalis #jurnalismuda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Meriah! Hari Bhayangkara ke-78 Tahun Ini, Turut Dimeriahkan Oleh PJ Bupati Lumajang

LJJS Portal,  Lumajang - Pj Bupati Lumajang Indah Wahyuni, S.H., M.Si. menghadiri upacara Hari Bhayangkara ke-78 tahun 2024 yang dilaksanaka...