Visitor

Rabu, 11 Oktober 2023

Kenang di Balik Senja

 Oleh: Bunga Dyandraa


Sang surya terbit lalu tenggelam, ini diartikan sebagai pergantian pagi dan malam yang menjadi rumus dunia. Tapi jika kamu datang lalu pergi, apakah ini rumus dunia atau kehendak sang pencipta? Lika-liku semesta sangat sulit untuk manusia emban. Banyak yang patah karena cara kerja semesta.

                “Hari ini aku bisa bantu ya, untuk besok dan 2 minggu kedepan aku izin dulu,” kata terakhirnya sebelum cerita bermulai. Hfttt, masih sangat teringat dalam benakku saat kamu mengucapkan kata itu padaku.

                “Iya,Mas. Kita mulai project jam berapa nih hari ini?” tanyaku memastikan.

                “Jam 6 standby di lokasi ya,” tuturnya. Hari ini terbilang sangat sibuk, berbagai jadwal saling tumpang tindih membuat diri ini ingin sekali membelah diri. Semua tidak lepas dari kata tanggung jawab, dan itu harus dilakukan bagi kita yang ingin sukses di masa depan.

                Berbagai rangkaian kita berdua emban dan berhasil dilewati bersama. Sinar matahari terpancar membuat badan ini mengeluarkan se tetes keringat. Aku bersyukur atas apa yang terjadi pada siang ini.

“Mas, bisa pulang duluan deh tanpa ikut evaluasi kegiatan,” sebuah kalimat penutup sederhana dariku sebelum 2 minggu tanpa temu. Perpisahan memang selalu ada dan tak dapat dihindari. Tapi aku tahu, tidak ada manusia yang mau itu terjadi.

“Oke, terima kasih. Semangat ya, sampai bertemu kembali 2 minggu kedepan,” balasnya. Itulah pertemuan hari ini yang ditutup dengan lambaian tangan perpisahan. Dan aku siap menunggu kepulanganmu,Mas.

                Senja tiba dan terlihat begitu indah, dari warna, tatanan awan dan binar bintang yang mulai muncul menambah keharmonisan tersendiri. Tak sengaja keindahan itu ku abadikan dalam telepon genggamku.

                “Disana sudah sore?” sebuah pesan darinya mengagetkanku yang tengah menikmati senja sembari menyeruput teh kala itu.

                “Tidak, matahari sudah mulai tenggelam,Mas.”

                “Waw, apakah senja?” tanyanya lagi.

                “Iya, lihatlah. Sangat cantik bukan ?” jawabku dalam selipan foto yang terkirim.

                “Cantik, sama seperti kamu. Tapi apakah kamu tau senja disini seperti apa ?” rayu dan tanyanya kembali.

                “Memang disana seperti apa?”

                “Nanti ku beritahu ya, disini masih siang. Tidak ada senja, melainkan panas matahari yang menyengat,” jawabnya.

                “Oh iya? Aku lupa jika kita saat ini berbeda negara yang membuat kita berbeda waktu. Lanjutkan kesibukanmu disana, senja tetap ku tunggu.”

                Obrolan hanya dengan melalui telepon genggam terasa asik tetapi bertemu lebih baik. Entah kenapa, hati ini terasa sedikit tergores saat tahu bahwa kita berbeda waktu, apakah kita telah sejauh itu? Jarak ini begitu pahit untuk aku terima.

Drtttt drtttt

Getar telepon mengagetkanku. Sebuah pesan foto yang dikirim olehnya menumbuhkan gejolak penasaran dalam diri ini. Segera ku buka pesan tersebut, dan ternyata potret senja itu terkirim sesuai yang dijanjikannya.

                “Heii, itu sangat indah, mengapa bisa seindah itu ?” balas pesanku kepadanya.

                “Aku pun tak tahu, tapi kau tahu keindahan ini hanya sementara kan?” jawabnya.

                “Iya, sayang sekali. Langit yang indah ini mengapa hanya diciptakan hanya sementara?”

                “Karena sang pencipta memberikan gambaran bagi para manusia, bahwa langit saja bisa berubah, apalagi manusia? Hal ini tidak lepas dari mengajarkanmu untuk tidak terlalu berharap kepada manusia, karena manusia sama seperti senja, hanya akan indah pada waktunya saja.”

                Sepenggal kata yang sangat menyentuh hati. Memang benar, manusia bukanlah tempat untuk menaruh harapan, berharap kepada manusia itu memang sungguh menyakitkan. Tetapi, apa maksud dia berkata itu padaku? Ah, sudahlah.

                “Selamat pagi, eh apakah disana sudah pagi?” pesannya.

                “Sudah siang, Mas.”

                “Heum, selisih jauh sekali ya,” balasnya.

                “Iya, kita terlalu jauh,” akhir percakapan telepon.

                Kujalani beragam aktifitas tanpa sosok senja yang masih terpisah dengan langitnya. Apakah pantas bila sosok langit itu adalah aku? Haha, angan yang lucu. Tak sadar aku mulai terbiasa tanpa sosoknya. Dan tak terasa dua minggu berlalu.

                “Eh, bukannya hari ini harusnya dia sudah sekolah ya?Mengapa tidak ada kabar lagi?” gumamku dalam hati. Bingung dan tak tahu apa yang terjadi. Apakah akan asing kembali ?

                “Ayo cepat, aku gerah banget ini,” ajak Aulia padaku.

                Kulangkahkan kaki melewati koridor sekolah dan menuruni tangga untuk menuju parkiran sekolah sembari memainkan kunci motor.

                “Lah, itu bukannya Mas Reza ya?Bonceng siapa dia?” sela Aulia.

                Diam seribu kata terjadi saat itu. Aku melihatnya telah bersanding bersama perempuan lain. Skenario macam apa lagi ino Tuhan? Haruskah aku menghadapi kehilangan lagi?

                “Kamu atau aku yang nyetir?” tanya Aulia padaku.

                “Aku saja, kamu yang dibelakang.”

                Jalanan yang ramai, suara klakson dimana dimana. Sangat menggambar pikiranku saat ini yang sangat berisik. Hati yang sunyi, realita menghantam ekspetasiku. Tak sengaja air mata ini menetes membasahi pipi.

                “Hei, aku tau. Semangat ya!” ucap Aulia memelukku dari belakang.

                “Kenapa harus aku?” tanyaku.

                “Karena kamu mampu. Ingat ya, Tuhan tidak akan pernah menguji umatnya diluar batasan,” hiburnya. Melanjutkan perjalanan dengan hati terpaksa harus ikhlas.

                “Terima kasih sudah ngantar aku. Sudah dong jangan sedih-sedih,” ucap Aulia turun dari motor.

                “Project ku bersama dia masih banyak. Bagaimana jika itu hancur?”

                “Kuncinya adalah profesional. Aku yakin kamu bisa,” tuturnya sembari memelukku.

                Kukira, Tuhan membiarkanku sendiri, ternyata salah. Ada sosok perempuan yang selalu ada saat seribu orang menjauh padaku. Iya, itu kamu Aulia.

                “Kapan mulai project lagi? Sudah pulang kan?” pesanku padanya.

                “Eh iya, maaf tidak sempat mengabari. Besok deh.”

                “Maaf? Semudah itu?”

                “Maksud kamu?” balasnya.

                “Ah, sudahlah. Kamu tak akan paham.”

Sakit, tak sanggup. Sadarkah kamu bahwa kita terlalu hancur? Benar katamu. Senja akan indah pada waktunya saja. Selamat tinggal senja ku. Langitmu ini telah terselimuti awan kekecewaan yang akan terus menjadi hujan.


#ljjs #pemudalumajang #profilepemuda #portalljjs #lumajangkab #journalist #disporalumajang #disporajatim #kadisporalumajang #kabidpemuda #bidangpemuda #16-30tahun #2023 #pemudajurnalis #jurnalismuda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Meriah! Hari Bhayangkara ke-78 Tahun Ini, Turut Dimeriahkan Oleh PJ Bupati Lumajang

LJJS Portal,  Lumajang - Pj Bupati Lumajang Indah Wahyuni, S.H., M.Si. menghadiri upacara Hari Bhayangkara ke-78 tahun 2024 yang dilaksanaka...