Oleh: Bunga Dyandraa
Sang surya terbit lalu tenggelam, ini diartikan sebagai pergantian pagi dan
malam yang menjadi rumus dunia. Tapi jika kamu datang lalu pergi, apakah ini
rumus dunia atau kehendak sang pencipta? Lika-liku semesta sangat sulit untuk
manusia emban. Banyak yang patah karena cara kerja semesta.
“Hari ini aku bisa
bantu ya, untuk besok dan 2 minggu kedepan aku izin dulu,” kata terakhirnya
sebelum cerita bermulai. Hfttt, masih sangat teringat dalam benakku saat kamu
mengucapkan kata itu padaku.
“Iya,Mas. Kita mulai
project jam berapa nih hari ini?” tanyaku memastikan.
“Jam 6 standby
di lokasi ya,” tuturnya. Hari ini terbilang sangat sibuk, berbagai jadwal
saling tumpang tindih membuat diri ini ingin sekali membelah diri. Semua tidak
lepas dari kata tanggung jawab, dan itu harus dilakukan bagi kita yang ingin
sukses di masa depan.
Berbagai rangkaian
kita berdua emban dan berhasil dilewati bersama. Sinar matahari terpancar
membuat badan ini mengeluarkan se tetes keringat. Aku bersyukur atas apa yang
terjadi pada siang ini.
“Mas, bisa pulang duluan deh tanpa ikut evaluasi kegiatan,”
sebuah kalimat penutup sederhana dariku sebelum 2 minggu tanpa temu. Perpisahan
memang selalu ada dan tak dapat dihindari. Tapi aku tahu, tidak ada manusia
yang mau itu terjadi.
“Oke, terima kasih. Semangat ya, sampai bertemu kembali 2
minggu kedepan,” balasnya. Itulah pertemuan hari ini yang ditutup dengan
lambaian tangan perpisahan. Dan aku siap menunggu kepulanganmu,Mas.
Senja tiba dan
terlihat begitu indah, dari warna, tatanan awan dan binar bintang yang mulai
muncul menambah keharmonisan tersendiri. Tak sengaja keindahan itu ku abadikan
dalam telepon genggamku.
“Disana sudah sore?”
sebuah pesan darinya mengagetkanku yang tengah menikmati senja sembari
menyeruput teh kala itu.
“Tidak, matahari sudah
mulai tenggelam,Mas.”
“Waw, apakah senja?”
tanyanya lagi.
“Iya, lihatlah. Sangat
cantik bukan ?” jawabku dalam selipan foto yang terkirim.
“Cantik, sama seperti
kamu. Tapi apakah kamu tau senja disini seperti apa ?” rayu dan tanyanya
kembali.
“Memang disana seperti
apa?”
“Nanti ku beritahu ya,
disini masih siang. Tidak ada senja, melainkan panas matahari yang menyengat,”
jawabnya.
“Oh iya? Aku lupa jika
kita saat ini berbeda negara yang membuat kita berbeda waktu. Lanjutkan
kesibukanmu disana, senja tetap ku tunggu.”
Obrolan hanya dengan
melalui telepon genggam terasa asik tetapi bertemu lebih baik. Entah kenapa,
hati ini terasa sedikit tergores saat tahu bahwa kita berbeda waktu, apakah
kita telah sejauh itu? Jarak ini begitu pahit untuk aku terima.
Drtttt drtttt
Getar telepon mengagetkanku. Sebuah pesan foto yang dikirim olehnya
menumbuhkan gejolak penasaran dalam diri ini. Segera ku buka pesan tersebut,
dan ternyata potret senja itu terkirim sesuai yang dijanjikannya.
“Heii, itu sangat
indah, mengapa bisa seindah itu ?” balas pesanku kepadanya.
“Aku pun tak tahu,
tapi kau tahu keindahan ini hanya sementara kan?” jawabnya.
“Iya, sayang sekali.
Langit yang indah ini mengapa hanya diciptakan hanya sementara?”
“Karena sang pencipta
memberikan gambaran bagi para manusia, bahwa langit saja bisa berubah, apalagi
manusia? Hal ini tidak lepas dari mengajarkanmu untuk tidak terlalu berharap
kepada manusia, karena manusia sama seperti senja, hanya akan indah pada
waktunya saja.”
Sepenggal kata yang
sangat menyentuh hati. Memang benar, manusia bukanlah tempat untuk menaruh
harapan, berharap kepada manusia itu memang sungguh menyakitkan. Tetapi, apa
maksud dia berkata itu padaku? Ah, sudahlah.
“Selamat pagi, eh
apakah disana sudah pagi?” pesannya.
“Sudah siang, Mas.”
“Heum, selisih jauh
sekali ya,” balasnya.
“Iya, kita terlalu
jauh,” akhir percakapan telepon.
Kujalani beragam
aktifitas tanpa sosok senja yang masih terpisah dengan langitnya. Apakah pantas
bila sosok langit itu adalah aku? Haha, angan yang lucu. Tak sadar aku mulai
terbiasa tanpa sosoknya. Dan tak terasa dua minggu berlalu.
“Eh, bukannya hari ini
harusnya dia sudah sekolah ya?Mengapa tidak ada kabar lagi?” gumamku dalam
hati. Bingung dan tak tahu apa yang terjadi. Apakah akan asing kembali ?
“Ayo cepat, aku gerah
banget ini,” ajak Aulia padaku.
Kulangkahkan kaki
melewati koridor sekolah dan menuruni tangga untuk menuju parkiran sekolah
sembari memainkan kunci motor.
“Lah, itu bukannya Mas
Reza ya?Bonceng siapa dia?” sela Aulia.
Diam seribu kata
terjadi saat itu. Aku melihatnya telah bersanding bersama perempuan lain.
Skenario macam apa lagi ino Tuhan? Haruskah aku menghadapi kehilangan lagi?
“Kamu atau aku yang
nyetir?” tanya Aulia padaku.
“Aku saja, kamu yang
dibelakang.”
Jalanan yang ramai,
suara klakson dimana dimana. Sangat menggambar pikiranku saat ini yang sangat
berisik. Hati yang sunyi, realita menghantam ekspetasiku. Tak sengaja air mata
ini menetes membasahi pipi.
“Hei, aku tau.
Semangat ya!” ucap Aulia memelukku dari belakang.
“Kenapa harus aku?”
tanyaku.
“Karena kamu mampu.
Ingat ya, Tuhan tidak akan pernah menguji umatnya diluar batasan,” hiburnya.
Melanjutkan perjalanan dengan hati terpaksa harus ikhlas.
“Terima kasih sudah
ngantar aku. Sudah dong jangan sedih-sedih,” ucap Aulia turun dari motor.
“Project ku bersama
dia masih banyak. Bagaimana jika itu hancur?”
“Kuncinya adalah
profesional. Aku yakin kamu bisa,” tuturnya sembari memelukku.
Kukira, Tuhan
membiarkanku sendiri, ternyata salah. Ada sosok perempuan yang selalu ada saat
seribu orang menjauh padaku. Iya, itu kamu Aulia.
“Kapan mulai project
lagi? Sudah pulang kan?” pesanku padanya.
“Eh iya, maaf tidak
sempat mengabari. Besok deh.”
“Maaf? Semudah itu?”
“Maksud kamu?”
balasnya.
“Ah, sudahlah. Kamu
tak akan paham.”
Sakit, tak sanggup. Sadarkah kamu bahwa kita terlalu
hancur? Benar katamu. Senja akan indah pada waktunya saja. Selamat tinggal
senja ku. Langitmu ini telah terselimuti awan kekecewaan yang akan terus
menjadi hujan.
#ljjs #pemudalumajang #profilepemuda #portalljjs #lumajangkab #journalist #disporalumajang #disporajatim #kadisporalumajang #kabidpemuda #bidangpemuda #16-30tahun #2023 #pemudajurnalis #jurnalismuda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar