Visitor

Rabu, 11 Oktober 2023

Hanya Sebuah Angka

 

Oleh: Bunga Dyandraa



Apakah perlu diceritakan susah dan perjuangan seorang siswa yang  ingin tetap berjuang dikalangan era sudah tak semestinya? Aku berdiri menatap langit yang menyimpan segala air mata dalam lukisan awannya. Ya, rasa bangga dengan diri sendiri muncul seketika disaat  mengingat bahwa aku mampu dan berhasil melewati semuanya.

                “Dokter Greysha, pasien sudah menunggu di ruangan,” panggil salah satu suster di rumah sakit tempatku bekerja. Tak menyangka, anak yang dulu diragukan sekarang mendapatkan gelar itu. Salahkah bila aku bangga pada diriku? Apa yang telah terjadi sebenarnya?

                7 tahun silam, di masa semua serba digital terutama pada saat sekolah online, aku merasakan pahitnya dunia. Terlintas dalam benakku perihal apa yang telah dilakukan oleh orang tuaku dulu.

*plakkk..

                “Berani ya kamu sama Mama, dasar anak tidak tau diri! Segini saja kamu ngeluh, bagaimana kamu bisa sukses nanti?” ujar Mama kasar padaku. Kata – kata yang terlontar itu sempat menjadi alasanku untuk berhenti.

                Tak menjawab sepatah kata pun adalah keputusanku. Percuma bila kita marah, karena yang mengerti perasaan kita adalah kita sendiri. Pagi hari yang biasa disambut dengan kehangatan, tidak kudapati dulu.

Suara petir yang membangunkanku waktu itu, namun matahari senantiasa bersembunyi. Ternyata sudah pagi, pikirku. Sedari malam hujan tak kunjung reda membuatku setia bertemankan badcover. Perut mulai berirama, menandakan  perut kosong ini harus diisi sesuatu. Ah, ini hanya sebuah halusinasi di pagi hari saja.

*brakkk...

                “Apa apaan kamu jam segini baru bangun? Mau jadi apa ?!” sentak Mama kepadaku setelah membuka pintu kamar dengan sangat kencang.

                “Maaf Ma, Greysha sangat lelah...”

                “Banyak alasan! Ayo cepat siapin laptopmu untuk sekolah daring. Sekolah daring aja banyak banget alasannya!” ucap Mama menyela pembicaraanku.

                HAHA, apa kalian melihat kasih sayang? Jika iya, dimana? Sebuah dongeng lucu yang ku sambut di pagi hari. Jenuh sekali karena tiap hari aku hanya ditemani oleh meja belajar saja.

Ku ikuti alur semesta, memang sudah tugasku dan aku menyadari itu. Perlahan mulai memahami materi yang dijelaskan oleh layar laptop. Bolehkah aku sebut begitu? Mungkin guru yang berbicara, tapi layar laptop menjadi perantara waktu itu.

Mungkin ada berbagai alasan untuk aku menangis, namun ada satu alasan untuk aku tetap tersenyum, Bibi. Ya, Bibi orang menyayangiku saat itu dengan cara sederhananya.

“Non, ini Bibi bawakan sarapan.”

                Ucapan sederhana yang tak pernah aku dapatkan diucapkan oleh orang tuaku. Mereka asik mengejar ego nya, mengira bahwa anaknya baik baik saja. Aku menyantap makanan yang dibawa Bibi untukku. Tak lama terlintas dalam pikiranku teringat bahwa esok adalah pengumuman kelulusan. Terdiam membisu, berangan akan nilai yang diperoleh. Apakah harus mendapatkan tamparan lagi hanya karena angka ?

                “Bi, Greysha takut,” ajakku berbicara.

                “Takut kenapa non?” tanya Bibi.

                “Besok Grey pembagian ijazah kelulusan, apa nanti Grey akan dapat tamparan lagi dari Mama?”

                “Non Grey jangan takut, harus optimis, tunjukkan kalau non Grey bisa. Jangan sedih non, Bibi disini akan selalu ada disamping non Greysha,” ucap Bibi yang membuatku tak dapat menahan air mata. Ternyata masih ada orang yang peduli akan yang terjadi pada diriku. Bibi memelukku, hangat rasanya.

Hmm, tutur batinku tidak akan pernah salah. Benar saja nilai ijazah kelulusan tak sesuai ekspetasi orang tuaku. Apakah aku mendapatkan kekerasan lagi? Tentu saja.

“Apa ini?!” tanya Mama dengan nada tegas kepadaku.

                “Nilai kamu turun banget, kecewa Papa,” balas Papa.

                “Maaf Ma, Pa.”

                “Apa yang harus dimaafkan? Nilai seperti ini buat apa Grey?! Mau jadi apa kamu dengan nilai hanya segini!”

                “Ma, itu hanya angka aja, Grey yakin bisa sukses meskipun angka angka itu rendah,” jelasku.

*plakkk... ( tamparan kuat kembali aku terima )

                “Angka ini yang nentukan masa depan kamu! Lihat anaknya Tante Ela, nilainya tinggi Grey, dia pasti mudah diterima di unniversitas!” bentak Mama.

                Aku melangkah pergi, tak sanggup menahan semua kata kata yang terlontar dari mereka. Menuju ke kamar, dan meringkuk di salah satu sudut kamar. Bola mataku terbuka lebar, muncul tekad bahwa aku harus bisa buktikan bahwa angka tidak menentukan semuanya.

Sebuah keajaiban tuhan muncul seketika, menolongku untuk bangkit. Aca, sahabat perempuanku menelfon untuk mengabari bahwa salah satu Unniersitas kedokteran mengadakan lomba cerdas cermat MIPA dengan hadiah tiket diundangnya masuk ke Unniversitas tersebut. Awalnya keraguan menyelimuti, namun apa salahnya mencoba?

Tekadku semakin utuh, berharap bahwa inilah jalanku. Tanpa berpikir panjang aku menyetujui ajakan Aca. Beberapa persiapan kita lakukan.

                “Kayaknya susah deh kita persiapan kayak by online gini, gua ke rumah lo ya, lagian nanti lombanya juga kita se kamera,” ucap Aca di telepon.

                “Okay deh, prokes tetap ya.”

                Mulai melakukan persiapan, memahami materi yang akan dilombakan. Sore ini pertandingan dimulai, waktu yang sangat singkat. Ya, mungkin hanya by online saja. Namun tak meruntuhkan tekad kita yang ingin maju meraih masa depan.

                “Siap Grey?” tanya Aca penuh dengan harapan.

                “Siap.”

                Kita ikuti berbagai rangkaian lomba, menjawab pertanyaan dari juri dengan lisan. Ya, aku tak percaya dengan ini semua. Kemampuanku benar benar di uji disini. Babak penyisihan berakhir, aku dan Aca terpilih untuk masuk ke babak final yang langsung dilaksanakan setelah break 15 menit.

                “Maa Mamaa..” panggilku mencari keberadaan Mama.

                “Kenapa?” jawabnya ketus.

                “Grey masuk final Ma, ayo lihat babak finalnya Grey,” ucapku menarik tangan Mama untuk mengikutiku.

                Babak final dimulai. Sekujur tubuhku berkeringat. Mengapa tidak? Ini pertama kali nya aku merasakan support dari Mama, meskipun hanya melihat saja.

                “Baiklah, dari hasil jawaban yang diperoleh. Pemenang dari lomba cerdas cermat IPA se nasional tahun ini adalah..” ucap host lomba terputus. Dag dig dug dirasakan oleh seluruh peserta, termasuk wajah Mama yang ikut tegang menyaksikannya.

                “Greysha dan Aca” sorak host lomba.

                “AAAA!!” teriak semua orang disekitarku. Ramai sekali, Mama, Papa dan Bibi ternyata menyaksikanku dari belakang. Mereka bersama memelukku. Ya tuhan, pelukan ini, pelukan pertama yang penuh dengan arti.

                “Mama sama Papa bangga sama kamu!” ucap Papa membangkitkan semangatku. Tangisan ku memiliki banyak arti saat ini, terharu akan kepedulian orang tua dan bangga kepada pencapaianku saat ini.

                “Pemenang lomba ini mendapatkan undangan untuk masuk unniversitas kedokteran tante, izinkan Grey untuk meneruskan pendidikannya mendapatkan gelar dokter,” ucap Aca lirih.

                “Pasti, semangat putri kecil Mama,” ucap Mama.

                Inikah jawabanmu tuhan? Inikah yang akan kau berikan kepadaku? Orang tua yang ku anggap tidak akan pernah bangga padaku, ternyata sebaliknya. Mungkin caranya salah dalam  mendidikku, namun hikmah dibalik semuanya itu ada.

                Saatnya kembali terjun dalam medan perang, rela meninggalkan tidur hanya demi gelar Dr. di depan namaku. Perubahan dapat aku rasakan. Orang tua yang selalu support aku untuk mendapatkan gelar itu.

                Ya, aku berhasil meraih semuanya. Setiap mengingat itu, air mata selalu membasahi pipi. Di era digital yang tak mudah, yang selalu menjadi penghalang untuk maju. Sekali lagi, aku mampu.

                “Nak,” panggil Mama lembut di belakangku. Segera menghapus air mata yang sempat deras ini.

                “Loh, kok nangis sih, kenapa sayang? Cerita dong,” tanya Mama sembari memelukku.

                “Hehe, enggak kok Ma. Tadi Greysha hanya teringat perjuangan Greysha dulu.”

                “Anak Mama hebat, mampu melewati itu semua. Tugas Greysha sekarang hanya tinggal mengabdi di pekerjaan membantu orang untuk sembuh,” tutur Mama.

                “Pasti Ma, terimakasih telah ada dan menjadi peran penting di perjuangan Greysha. Tetap jadi Mama yang terbaik buat Grey ya Ma,” percakapan berakhir.

                Bila telah sukses dan berhasil merubah menjadi lebih baik, jangan pernah melupakan masa masa sulit itu. Tunjukkan dan ceritakan kembali pada dunia tentang caramu yang mengubah keluh menjadi sebuah senyuman.

                Inilah pengalamanku. Proses di era digital tak gampang dan tak semua kuat, apalagi tentang pendidikan. Tapi syukurlah, aku mampu melewati ini. Skenario tuhan selalu indah walaupun harus dilewati dengan air mata. Salam dari aku, semangat ya!

#ljjs #pemudalumajang #profilepemuda #portalljjs #lumajangkab #journalist #disporalumajang #disporajatim #kadisporalumajang #kabidpemuda #bidangpemuda #16-30tahun #2023 #pemudajurnalis #jurnalismuda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Meriah! Hari Bhayangkara ke-78 Tahun Ini, Turut Dimeriahkan Oleh PJ Bupati Lumajang

LJJS Portal,  Lumajang - Pj Bupati Lumajang Indah Wahyuni, S.H., M.Si. menghadiri upacara Hari Bhayangkara ke-78 tahun 2024 yang dilaksanaka...