Oleh: Bunga Dyandraa
Apakah
perlu diceritakan susah dan perjuangan seorang siswa yang ingin tetap berjuang dikalangan era sudah tak
semestinya? Aku berdiri menatap langit yang menyimpan segala air mata dalam
lukisan awannya. Ya, rasa bangga dengan diri sendiri muncul seketika
disaat mengingat bahwa aku mampu dan
berhasil melewati semuanya.
“Dokter Greysha, pasien sudah
menunggu di ruangan,” panggil salah satu suster di rumah sakit tempatku
bekerja. Tak menyangka, anak yang dulu diragukan sekarang mendapatkan gelar
itu. Salahkah bila aku bangga pada diriku? Apa yang telah terjadi sebenarnya?
7 tahun silam, di masa semua
serba digital terutama pada saat sekolah online, aku merasakan pahitnya dunia.
Terlintas dalam benakku perihal apa yang telah dilakukan oleh orang tuaku dulu.
*plakkk..
“Berani ya kamu sama Mama, dasar
anak tidak tau diri! Segini saja kamu ngeluh, bagaimana kamu bisa sukses
nanti?” ujar Mama kasar padaku. Kata – kata yang terlontar itu sempat menjadi
alasanku untuk berhenti.
Tak menjawab sepatah kata pun
adalah keputusanku. Percuma bila kita marah, karena yang mengerti perasaan kita
adalah kita sendiri. Pagi hari yang biasa disambut dengan kehangatan, tidak
kudapati dulu.
Suara petir yang membangunkanku waktu itu, namun matahari
senantiasa bersembunyi. Ternyata sudah pagi, pikirku. Sedari malam hujan tak
kunjung reda membuatku setia bertemankan badcover.
Perut mulai berirama, menandakan perut
kosong ini harus diisi sesuatu. Ah, ini hanya sebuah halusinasi di pagi hari
saja.
*brakkk...
“Apa apaan kamu jam segini baru
bangun? Mau jadi apa ?!” sentak Mama kepadaku setelah membuka pintu kamar
dengan sangat kencang.
“Maaf Ma, Greysha sangat
lelah...”
“Banyak alasan! Ayo cepat siapin
laptopmu untuk sekolah daring. Sekolah daring aja banyak banget alasannya!”
ucap Mama menyela pembicaraanku.
HAHA, apa kalian melihat kasih
sayang? Jika iya, dimana? Sebuah dongeng lucu yang ku sambut di pagi hari.
Jenuh sekali karena tiap hari aku hanya ditemani oleh meja belajar saja.
Ku ikuti alur semesta, memang sudah tugasku dan aku
menyadari itu. Perlahan mulai memahami materi yang dijelaskan oleh layar
laptop. Bolehkah aku sebut begitu? Mungkin guru yang berbicara, tapi layar
laptop menjadi perantara waktu itu.
Mungkin ada berbagai alasan untuk aku menangis, namun ada
satu alasan untuk aku tetap tersenyum, Bibi. Ya, Bibi orang menyayangiku saat
itu dengan cara sederhananya.
“Non,
ini Bibi bawakan sarapan.”
Ucapan sederhana yang tak pernah
aku dapatkan diucapkan oleh orang tuaku. Mereka asik mengejar ego nya, mengira
bahwa anaknya baik baik saja. Aku menyantap makanan yang dibawa Bibi untukku.
Tak lama terlintas dalam pikiranku teringat bahwa esok adalah pengumuman
kelulusan. Terdiam membisu, berangan akan nilai yang diperoleh. Apakah harus
mendapatkan tamparan lagi hanya karena angka ?
“Bi, Greysha takut,” ajakku
berbicara.
“Takut kenapa non?” tanya Bibi.
“Besok Grey pembagian ijazah
kelulusan, apa nanti Grey akan dapat tamparan lagi dari Mama?”
“Non Grey jangan takut, harus
optimis, tunjukkan kalau non Grey bisa. Jangan sedih non, Bibi disini akan
selalu ada disamping non Greysha,” ucap Bibi yang membuatku tak dapat menahan
air mata. Ternyata masih ada orang yang peduli akan yang terjadi pada diriku.
Bibi memelukku, hangat rasanya.
Hmm, tutur batinku tidak akan pernah salah. Benar saja nilai
ijazah kelulusan tak sesuai ekspetasi orang tuaku. Apakah aku mendapatkan
kekerasan lagi? Tentu saja.
“Apa
ini?!” tanya Mama dengan nada tegas kepadaku.
“Nilai
kamu turun banget, kecewa Papa,” balas Papa.
“Maaf
Ma, Pa.”
“Apa
yang harus dimaafkan? Nilai seperti ini buat apa Grey?! Mau jadi apa kamu
dengan nilai hanya segini!”
“Ma,
itu hanya angka aja, Grey yakin bisa sukses meskipun angka angka itu rendah,”
jelasku.
*plakkk... ( tamparan kuat kembali aku terima )
“Angka ini yang nentukan masa
depan kamu! Lihat anaknya Tante Ela, nilainya tinggi Grey, dia pasti mudah
diterima di unniversitas!” bentak Mama.
Aku melangkah pergi, tak sanggup
menahan semua kata kata yang terlontar dari mereka. Menuju ke kamar, dan
meringkuk di salah satu sudut kamar. Bola mataku terbuka lebar, muncul tekad
bahwa aku harus bisa buktikan bahwa angka tidak menentukan semuanya.
Sebuah keajaiban tuhan muncul seketika, menolongku untuk
bangkit. Aca, sahabat perempuanku menelfon untuk mengabari bahwa salah satu
Unniersitas kedokteran mengadakan lomba cerdas cermat MIPA dengan hadiah tiket
diundangnya masuk ke Unniversitas tersebut. Awalnya keraguan menyelimuti, namun
apa salahnya mencoba?
Tekadku semakin utuh, berharap bahwa inilah jalanku. Tanpa
berpikir panjang aku menyetujui ajakan Aca. Beberapa persiapan kita lakukan.
“Kayaknya susah deh kita
persiapan kayak by online gini, gua ke rumah lo ya, lagian nanti lombanya juga
kita se kamera,” ucap Aca di telepon.
“Okay deh, prokes tetap ya.”
Mulai melakukan persiapan,
memahami materi yang akan dilombakan. Sore ini pertandingan dimulai, waktu yang
sangat singkat. Ya, mungkin hanya by online saja. Namun tak meruntuhkan tekad
kita yang ingin maju meraih masa depan.
“Siap Grey?” tanya Aca penuh
dengan harapan.
“Siap.”
Kita ikuti berbagai rangkaian
lomba, menjawab pertanyaan dari juri dengan lisan. Ya, aku tak percaya dengan
ini semua. Kemampuanku benar benar di uji disini. Babak penyisihan berakhir, aku
dan Aca terpilih untuk masuk ke babak final yang langsung dilaksanakan setelah
break 15 menit.
“Maa Mamaa..” panggilku mencari
keberadaan Mama.
“Kenapa?” jawabnya ketus.
“Grey masuk final Ma, ayo lihat
babak finalnya Grey,” ucapku menarik tangan Mama untuk mengikutiku.
Babak final dimulai. Sekujur
tubuhku berkeringat. Mengapa tidak? Ini pertama kali nya aku merasakan support
dari Mama, meskipun hanya melihat saja.
“Baiklah, dari hasil jawaban
yang diperoleh. Pemenang dari lomba cerdas cermat IPA se nasional tahun ini
adalah..” ucap host lomba terputus. Dag dig dug dirasakan oleh seluruh peserta,
termasuk wajah Mama yang ikut tegang menyaksikannya.
“Greysha dan Aca” sorak host
lomba.
“AAAA!!” teriak semua orang
disekitarku. Ramai sekali, Mama, Papa dan Bibi ternyata menyaksikanku dari
belakang. Mereka bersama memelukku. Ya tuhan, pelukan ini, pelukan pertama yang
penuh dengan arti.
“Mama sama Papa bangga sama
kamu!” ucap Papa membangkitkan semangatku. Tangisan ku memiliki banyak arti
saat ini, terharu akan kepedulian orang tua dan bangga kepada pencapaianku saat
ini.
“Pemenang lomba ini mendapatkan
undangan untuk masuk unniversitas kedokteran tante, izinkan Grey untuk
meneruskan pendidikannya mendapatkan gelar dokter,” ucap Aca lirih.
“Pasti, semangat putri kecil
Mama,” ucap Mama.
Inikah jawabanmu tuhan? Inikah
yang akan kau berikan kepadaku? Orang tua yang ku anggap tidak akan pernah
bangga padaku, ternyata sebaliknya. Mungkin caranya salah dalam mendidikku, namun hikmah dibalik semuanya itu
ada.
Saatnya kembali terjun dalam
medan perang, rela meninggalkan tidur hanya demi gelar Dr. di depan namaku.
Perubahan dapat aku rasakan. Orang tua yang selalu support aku untuk
mendapatkan gelar itu.
Ya, aku berhasil meraih
semuanya. Setiap mengingat itu, air mata selalu membasahi pipi. Di era digital
yang tak mudah, yang selalu menjadi penghalang untuk maju. Sekali lagi, aku
mampu.
“Nak,” panggil Mama lembut di
belakangku. Segera menghapus air mata yang sempat deras ini.
“Loh, kok nangis sih, kenapa
sayang? Cerita dong,” tanya Mama sembari memelukku.
“Hehe, enggak kok Ma. Tadi
Greysha hanya teringat perjuangan Greysha dulu.”
“Anak Mama hebat, mampu melewati
itu semua. Tugas Greysha sekarang hanya tinggal mengabdi di pekerjaan membantu
orang untuk sembuh,” tutur Mama.
“Pasti Ma, terimakasih telah ada
dan menjadi peran penting di perjuangan Greysha. Tetap jadi Mama yang terbaik
buat Grey ya Ma,” percakapan berakhir.
Bila telah sukses dan berhasil
merubah menjadi lebih baik, jangan pernah melupakan masa masa sulit itu.
Tunjukkan dan ceritakan kembali pada dunia tentang caramu yang mengubah keluh
menjadi sebuah senyuman.
Inilah pengalamanku. Proses di era digital tak gampang dan tak semua kuat, apalagi tentang pendidikan. Tapi syukurlah, aku mampu melewati ini. Skenario tuhan selalu indah walaupun harus dilewati dengan air mata. Salam dari aku, semangat ya!
#ljjs #pemudalumajang #profilepemuda #portalljjs #lumajangkab #journalist #disporalumajang #disporajatim #kadisporalumajang #kabidpemuda #bidangpemuda #16-30tahun #2023 #pemudajurnalis #jurnalismuda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar