Visitor

Rabu, 11 Oktober 2023

Berbinar Kala Hampa

 Oleh: Bunga Dyandraa



Apa itu gagal? Sebuah kata yang sudah bersahabat lama denganku. Orang bilang setiap manusia pasti pernah gagal, tapi menurutku, sepertinya cuma aku yang selalu gagal di dunia ini. Katanya, hasil tidak pernah mengkhianati usaha. Namun bagaimana jika aku berkata sebaliknya?

 

Hasil yang tidak setara dengan perjuangan, ternyata sangat melelahkan. Rasanya dunia tidak adil. Dunia hanya berpihak pada seseorang yang sempurna, lalu bagaimana denganku yang jauh dari kata sempurna?

 

"Bunda," panggil ku dari kejauhan.

 

"Kenapa sayang?Ayo sini sarapan dulu," jawabnya, seraya tersenyum hangat kepadaku. Senyuman yang seketika membuat kedua mataku lebih berwarna di pagi yang cerah ini.

 

Aku menarik napas panjang, selang beberapa detik, aku mencoba meyakinkan diri untuk segera turun ke bawah. Meskipun aku tahu bagaimana episode kehidupanku selanjutnya setelah ini.

 

Seragam putih dan juga abu-abu telah menyelimuti badanku, seolah menjadi pengingat akan tempat yang harus aku datangi saat ini. Tempat di mana hanya ada ketidakadilan dan juga hinaan. Ya! Mereka semua sering melakukan itu kepadaku.

 

"Anak Bunda kok murung sih, sini duduk sebelah Bunda," tuturnya. Kedua tangannya meraihku, kemudian mencium keningku dengan lembut. Ini sudah menjadi kebiasaan bunda, ketika kita mulai bertemu mengawali hari.

 

Aku menatap perempuan berwajah teduh yang ada di hadapanku, dan kini aku sangat yakin untuk mengatakan suatu hal. "Di-dian bolos sekolah aja ya, Bun? Dian tidak siap untuk pergi ke sekolah," jawabku dengan nada terbata, kemudian menundukkan kepala.

 

"Hm, Bunda paham dengan yang kamu rasakan, sayang. Tapi anak bunda kan kuat, mereka hanya tau cover kamu saja tanpa tahu kemampuanmu. Jangan putus asa sayang, percaya deh. Tuhan sudah mengatur semuanya untuk kamu. Bunda bantu doa dari sini ya," tutur Bunda.

 

Aku hanya bisa menghela napas panjang, karena ini bukan kali pertamanya aku bercerita, dan Bunda selalu menjawab dengan kalimat yang tidak jauh beda dari sebelumnya.

"Sayang, kamu mengerti kan maksud, Bunda?" tanya Bunda padaku.

Aku mengangguk pelan, "Iya, Bund. Dian mengerti."

Sambil mengusap ujung kepalaku, "Gitu dong, ini baru anak Bunda." Bunda tersenyum padaku, seolah memang sangat bangga karena telah memiliki anak sepertiku.

"Terima kasih, Bunda. Selama ini hanya Bunda yang percaya kalau aku bisa. Aku berjanji, suatu saat nanti, Dian akan membuktikan kalau Dian bisa! Dian janji sama Bunda! Dian janji!" Ku ulangi kalimat tersebut, semata-mata untuk meyakinkan Bunda kalau Dian, putrinya, pasti bisa membuatnya tersenyum bangga.

 

***

 

Dering bel sekolah berbunyi sebagai tanda dimulainya pembelajaran.Saat ini aku yang tengah berdiri tepat di depan kelas, mencoba menatap yakin ke depan sebelum melangkahkan kaki untuk masuk di ruangan yang penuh dengan cacian.

 

Kedua tanganku masih memegang erat tas punggung yang masih kurangkul, setetes keringat mulai mengalir dari wajahku, membayangkan bagaimana hasil pengumuman nilai ulangan pekan lalu, seketika membuat diri ini mulai merasa tidak percaya diri.

 

"Hfftt, pasti jelek lagi," gumamku dalam hati.

 

Baru saja aku menaruh tas dan merebahkan pinggul di atas sepetak bangku, guru pengajar mulai memasuki kelas, menaruh beberapa paket tebal serta kertas ulangan di atas meja. Kedua matanya mulai menatap mengelilingi semua murid yang ada di dalam kelas, ketika ia menghentikan tatapannya kepadaku, rasanya aku mulai yakin kalau aku akan menjadi siswa dengan nilai terendah di kelas ini. Guru tersebut mulai memanggil teman teman sesuai urutan absensi untuk pengambilan nilai.

"Dian!" Namaku terpanggil. Aku berdiri dan melangkah ragu. Mengambil kertas ulangan yang berisikan nilai atas namaku. Ya, benar! Prediksiku memang tidak pernah meleset. Lagi, lagi, dan lagi, angka yang aku peroleh sangat rendah dibandingkan dengan teman - temanku.

"Ih, nilai mu kok jelek banget sih, Dian! Coba deh lihat nilaiku ini, bagus, kan? Makanya, belajar dong!" Putri memperlihatkan nilai ulangannya, nilai 98, angka yang cukup sempurna. Putri tergolong siswi yang memiliki kemampuan akademik yang cukup tinggi. Namun sayangnya sifatnya begitu sombong dan angkuh.

"Liat tuh nilai Dian, bikin malu kelas aja!"

"Huuuuuu!!" sorak mereka. Seolah mereka telah menjadi siswa sempurna di kelas ini.

"Sudah sudah, tidak perlu seperti itu. Dian, lebih ditingkatkan lagi ya, belajarnya," ucap guru melerai. Sepertinya Bu Guru tidak tega ketika melihatku yang mendapat sorakan.

"Si Dian itu, Bu. Dia memang tidak pernah belajar, pasti dia selalu menonton televisi dan juga selalu bermalas-malasan di rumahnya. Pantesan nilainya selalu di bawah KKM," tambah Rani. Dia adalah teman sebangku Putri, jadi sangat wajar jika dirinya ikut menghinaku seperti itu.     

"Huhh!! Makanya, belajar dong!"

"BRAKK!!"

 

Aku sudah tidak tahan mendengarkan ocehan mereka. Aku menggebrak meja di depanku, rasanya sudah sangat muak dan muak! Aku selalu belajar, tapi hasilnya selalu saja buruk. Lalu dengan mudahnya mereka mengatakan hal itu, seolah aku tidak pernah berusaha. Aku tahu, lidah memang tak bertulang, tapi jika bertulang pun, ingin rasanya aku mematahkan lidah mereka satu per satu.

 

Aku langsung berdiri, lalu melihat satu per satu siswa yang sudah menghinaku. Mereka juga melihatku dengan sorot mata tajam, seolah tengah melihat pelaku kejahatan.  Dan tak menunggu waktu lama, aku langsung berlari dan menahan air mata yang hampir tumpah seketika. Aku berlari menuju toilet sekolah, hanya dia tempat satu-satunya yang biasa kujadikan tempat untuk mencurahkan semua air mata.

 

"Bunda… aku membutuhkanmu," teriakku keras di dalam hati. Sambil berdiri menatap cermin di toilet, terlihat bahwa tidak ada yang harus dibanggakan. Tuhan telah menciptakan manusia dengan kelebihan dan kekurangannya masing – masing. Lalu di mana letak kelebihanku? Namun tiba-tiba, terdengar derap langkah kaki seseorang.

"Hai,” panggil lirih seseorang dibelakangku.Aku segera mengusap air mata di kedua pipiku, tak mau ada orang lain yang tahu kalau aku sedang menangis 

“Eh iya, ada apa?” jawabku gugup sambil menoleh ke belakang.

"Kamu menangis?" tanya seorang siswa yang tidak aku kenal sebelumnya. Ia memberiku sebuah tisu, namun aku tidak mengambilnya.

"Enggak, kok. Cuma kemasukan debu aja, ini juga lagi aku mencoba untuk membersihkannya," jawabku berbohong.

                Kemudian dia menarik kembali tisu tersebut. “Oh, begitu! Yaudah, kenalin namaku Miko dari kelas 11 Mipa 8. Kalau nama kamu?” Pria itu menjulurkan tangan kanannya.

 

Aku menatapnya ragu, anak yang aneh, tiba-tiba datang dan mengajakku kenalan. Tapi sepertinya dia anak yang baik, tidak seperti anak-anak di kelasku. Lalu kami segera mencari tempat duduk dan akhirnya duduk di sebuah bangku panjang di samping toilet.

Aku membalas uluran tangannya. “Aku Dian kak, dari kelas 10 IPS 1."

“Oh masih kelas 10, ya? Gimana kelilipannya? Sudah mendingan?"

"Iya, sudah kok!"

"Beneran? Harusnya ada teman yang membantumu mengeluarkan debu dari mata kamu, kenapa kamu nggak minta tolong sama mereka?" tanya Kak Miko lagi.

Deg!

Aku Terdiam bisu! Tak tahu harus menjawab apa dan bagaimana, karena bisa dibilang, aku tidak memiliki satu pun teman di sekolah ini.

"Aku tidak memiliki teman di sini, Kak," jawabku lirih.

"Mungkin karena aku anak paling bodoh di kelas, jadi mereka begitu enggan untuk berteman denganku,"  jawabku lagi.

"Sudah, jangan berkata begitu. Tidak ada manusia bodoh di dunia ini. Yang ada adalah manusia yang diciptakan dengan kemampuan dan bakat yang berbeda!"

 

Tak lama kemudian, Kak Miko menceritakan kisahnya. Tentang perjuangan ia bangkit dari segala rasa sakit kala itu. Seketika aku berpikir, apa aku tidak bisa seperti dia?  Pikiranku terbuka lebar, seketika muncul tekad bahwa aku harus bisa membuktikan, bahwa aku  mampu untuk menggapai itu semua. Menggapai keberhasilan lebih tepatnya.

 

“Sudah ada gambaran? Jangan menyerah, yah."Aku masih diam sambil terus memandang wajahnya.

 "Cari aja aku, kalau kamu butuh. Aku  pergi dulu ya,” pamitnya meninggalkanku.

"Tunggu, Kak—" Kak Miko berhenti. Kemudian dia menoleh ke belakang.

"Terima kasih banyak." Sambil tersenyum hangat padanya. Ini adalah wujud terima kasih, karena dia sudah memberiku semangat baru.

"Iya, sama-sama." Sambil mendaratkan senyuman di bibirnya, kemudian melangkahkan pergi.

 

Aku segera berdiri, dan mulai berusaha menimbulkan kepercayaan diri pada hatiku. "Benar bahkan sangat benar. Tidak seharusnya seperti ini. Hasil akan terlihat jika kita berusaha lebih giat. Semangat, Dian! Ayo, semangat!" seruku dalam hati. Namun nyatanya, hari-hari selanjutnya, aku menjalani hari dengan kehampaan. Seperti biasa, hanya ditemani oleh harapan. 

 

Setiap pagi, aku selalu menahan bola mata yang sulit untuk terbuka. Hari ini telah berhasil aku lewati walaupun harus dengan tangisan.Aku menuju balkon di sebelah kamarku. Menatap langit malam yang gelap, namun masih beruntung karena malam ini terlihat pemandangan bintang yang bersinar begitu terang. Bintang tersebut seakan melihat ke arahku, menunjukkan sinarnya yang begitu terang, seolah sedang menyapaku!

 

 Aku segera tersenyum ke arah mereka, sambil bertanya pada diri sendiri, kapan kiranya ada secercah bintang yang akan menghiasi namaku. Heheh! Konyol! Meskipun aku tahu kedengarannya mustahil, tapi anehnya, selalu ada harapan yang besar di dalam hatiku.  

 

***

 

Sinar matahari berhasil menembus tirai kamar, seolah berusaha membangunkanku dari mimpi semalam.Segera ku buka tirai kamar dan mengucapkan selamat pagi pada semesta. Selamat pagi bukan hanya sekedar kata. Itu adalah tindakan dan keyakinan untuk menjalani hari dengan baik. Pagi yang penuh harapan namun selalu diterjang habis oleh kenyataan. 

 

"Semangat sekolahnya, sayang," tutur lembut Bunda meninggalkanku disekolah.  Kalimat yang setiap hari aku dengar, namun rasanya juga tidak pernah bosan.

"Minta perhatiannya, murid-murid!" Guruku datang dan semua murid langsung terdiam.

"Ada informasi dari sekolah bahwa diadakan lomba publik speaking tingkat kabupaten. Tiap sekolah hanya boleh mengirimkan 1 perwakilan, apa ada yang mau mendaftar?" ucap guru di kelasku.

"Saya bu," jawab Putri dengan lantang dan satu kelas bergemuruh memberikan tepuk tangan.

 

Entah mengapa seketika muncul rasa percaya diri dalam diriku. Berpikir bahwa aku bisa. Tanpa keraguan sedikit pun, aku pun berkata. 

"Saya juga bersedia bu," jawabku tegas, berhasil membuat semua mata tertuju kepadaku.

 

Melihat dari tatapan mereka saja, sudah terlihat begitu jelas, kalau respon yang aku peroleh sangat berbeda dengan Putri, teman teman malah menertawakan ku. Sudah biasa diremehkan, aku kebal dengan ini.

                “Baiklah, ikuti seleksi di halaman sekolah ya. Yang lain silahkan melihat rangkaian acara seleksi,” kata penutup dari wali kelas.

               

Entah apa yang membuatku menjadi sangat percaya diri. Persiapan dilakukan, mencari informasi tentang bagaimana publik speaking yang benar. Namun guncangan tak berhenti, terus saja datang ingin meruntuhkan tekad kuat ku.

“Heh kamu! Yakin mau lawan si Putri? Gak malu tuh, kalau kamu kalah bagaimana?” "HAHHAHAH!"

                “Iya nih, PD banget sih jadi orang. Benerin dulu tuh nilaimu, awas aja masih malu – maluin.” Aku hanya diam dan diam.

 

Tidak masalah, aku sudah terbiasa. Mereka hanya bisa berkomentar tanpa melakukan. Setidaknya aku lebih percaya diri ketimbang mereka. Mulai beranjak dari bangku dan menuju halaman sekolah untuk mengikuti seleksi.

                “Loh, kamu ikut Dian?” sapa Kak Miko padaku.

“Hehe, iya kak," jawabku dengan malu-malu.

“Sip, keren. Lanjutkan, semangat ya, aku dukung kamu terus!” ucapnya yang membuatku tersenyum lebar. Karena tidak pernah ada yang mendukungku seperti ini. Bisa dibilang kalau Kak Miko adalah satu-satunya siswa yang mendukungku di sekolah ini.

               

Satu per satu peserta dipanggil. Rasa grogi kian memuncak saat Putri selesai tampil, sorakan begitu meriah yang ia dapati. Anak multitalenta ini memang sudah dikenal oleh siswa- siswi, bahkan para guru. Jadi tak heran bila seperti ini.

 

Kini giliranku. Entah angin apa yg menerpa diriku. Begitu namaku dipanggil, aku seperti terhipnotis oleh mimpiku. Tak ada rasa ragu, tak ada rasa gentar. Yang ada, adalah sosok Dian yg penuh percaya diri.

 

BUGG! Sial! Badanku tersungkur ke depan. Sebelum tampil aku harus menanggung malu karena terjatuh saat menaiki tangga panggung. Karena siapa? Putri. Gadis itu sengaja membuatku terjatuh dengan menyelipkan kakinya dalam langkahku.

 

Aku mengkondisikan diri untuk tetap tampil dengan kemampuan yang ku miliki. Tak percaya, namun ini lah kenyataannya. Semua mata tertuju memandangku, terpaku, dan begitu takjub. Ketika aku sudah selesai tampil, Putri langsung memicingkan bibirnya.

“Put, apa apaan sih?” tanyaku padanya.

“Kenapa? Malu ya? Mangkanya jangan sok sok an buat nyaingin!” jawabnya ketus.

                “Gak ada yang nyaingin kamu. Kamu aja yang merasa tersaingi. Ini curang!” jawabku tegas.

“Kita lihat saja siapa yang menang,” jawabnya dengan nada angkuh.

 

Tanganku ini rasanya sudah gatal untuk menampar pipinya. Dia cerdas tetapi tidak mencerminkan sebagai anak cerdas. Ia selalu menganggap remeh temannya bahkan sampai melakukan kecurangan hanya karena ingin tetap dipandang. Seluruh peserta telah tampil, hal yang ditunggu - tunggu telah tiba. Apa lagi jika bukan pengumuman lomba.

“Baiklah, dari hasil seleksi kami putuskan yang akan mewakili sekolah dalam lomba publik speaking yaitu Dyandra,” ucap juri seleksi.

               

Hah! Apa? Aku tidak salah dengar?               Seketika keringat membasahi tubuhku. Tak percaya bahwa ini terjadi, seperti mimpi namun nyata. Sorak dan tepuk tangan ku dapati dari seluruh warga sekolah. Aku langsung tersenyum menanggapi tepukan tangan mereka, sekaligus merasa sangat bersyukur. Namn tiba-tiba Putri datang menghampiriku, entah apa yang akan dia katakan. Ucapan selamat kah, atau justru sebaliknya.

“Heh, lo nyogok juri ya?!” tanyanya penuh dengan emosi.Baru saja aku ingin menjawab pertanyaannya, namun seseorang sudah terlebih dulu menjawabnya.

“Tutup mulut kamu! Nggak seharusnya kamu ngomong seperti itu ke Dian!” jawab Kak Miko dari kejauhan. Ia datang disaat yang tepat. Jika terlambat sedikit saja, mungkin sudah beda cerita.

“Buat apa belain dia Kak? Dia tuh bodoh!” jawab Putri kasar.

“Dia bodoh tapi mampu mengalahkan kamu, kalau begitu, kamu lebih bodoh dari dia dong! Asal kamu tahu, ya, setiap orang punya kelebihan masing – masing. Inget, Tuhan juga punya takdir! Modal apa kamu mau melawan takdir Tuhan? Saya akui kamu pintar, tapi bukan berarti orang lain tidak bisa,” ucap Kak Miko tegas.

“M-maaf mencela. Lebih baik tidak perlu berantem seperti ini,” tuturku. Lalu meninggalkan Putri dan juga Kak Miko. Di hari bahagiaku ini, aku tidak ingin terjadi keributan.

 

***

 

Suasana  mendadak sunyi. Keheningan mulai kurasakan. Angin yang meniup kencang seakan menghidupkan situasi mencekam ini.

“Hm, Dian,” panggil Putri lirih.

“Iya kenapa put?” jawabku.

“Selamat ya, maaf sebelumnya,” ucapnya ragu.

 

Sebenarnya aku mengerti perasaannya. Putri yang selalu diandalkan dalam segala aspek di sekolah, seorang anak multitalenta itu gagal dalam seleksi. Raut wajahnya menggambarkan kekecewaan yang mendalam.

Aku segera meraih kedua tangan Putri. “Terimakasih Put, tetap semangat ya. Aku paham kok, maaf banget kalau karena ku, kamu jadi gagal,” jawabku.

“Eh engga kok, memang awalnya aku kaget. Tapi setelah Kak Miko bilang tadi, aku menjadi sadar kalau roda terus berputar."

"Tidak selamanya aku harus berada di atas. Dan pastinya, nanti aku juga berada di bawah. Namun hal itu tidak menjadi masalah lagi bagiku."

"Aku senang karena kamu akhirnya bisa sadar, Put," ucapku.

"Aku juga senang, karena masih diberi kesempatan untuk sadar dab berubah menjadi seseorang yang lebih baik dari sebelumnya." Putri segera merangkulku, ini adalah pertama kalinya dia mau merangkul orang sepertiku.

"Selamat berlomba di tingkat selanjutnya ya Dian,” ucap Putri. Seraya menopangkan dagunya di pundak kiriku.

“Gini dong, baru mencerminkan anak pelajar. Lebih hargai perbedaan lagi ya, kalian seperjuangan harus saling menguatkan!" ucap Kak Miko yang tiba-tiba datang. Kebetulan ini masih jam istirahat, jadi dia masih bisa masuk ke dalam kelasku.

"Terima kasih banyak, Kak."

Kak Miko tersenyum kepadaku lalu menganggukkan kepalanya, "Sama-sama, Dian!"

 

Inikah jawabanmu tuhan? Inikah yang akan kau berikan kepadaku? Disaat aku mengira bahwa diriku tidak ada yang dapat dibanggakan, namun ternyata salah. Tuhan telah menciptakanku dengan begitu sempurma. Kenapa sempurna? Karena sesungguhnya kesempurnaan adalah milik mereka yang mau menutupi kekurangan dengan kelebihannya yang lain.

 

Saatnya kembali terjun dalam medan perang, rela meninggalkan tidur hanya demi meraih kejuaraan untuk membanggakan diri, orang tua dan sekolah. Dan hari itu pun telah tiba.

“Selamat ya Dian, selamat berproses. Semoga keberuntungan berpihak padamu.”

“Semangat terus Dian, kita dukung kamu ya!”

 

Kata- kata yang terlontar dari mereka membuat semangatku semakin membara. Mereka mungkin tidak menuntutku, tapi jelas bahwa harapan mereka sangat besar kepadaku. Rencanamu sungguh indah, Tuhan. Kini, gagal atau tidaknya ku serahkan padamu.

                Berproses untuk menjadi lebih baik memang tidak gampang. Tapi selalu ada hasil di setiap usaha yang kita lakukan. Manusia diciptakan dengan berbagai macam keberagaman kelebihan serta kekurangan. Maka dari itu perlu adanya interaksi untuk saling melengkapi.

Untuk kalian yang masih gagal, jangan menyerah. Pasti ada binar yang akan menerangi. Pesan dari aku, semangat terus ya!


#ljjs #pemudalumajang #profilepemuda #portalljjs #lumajangkab #journalist #disporalumajang #disporajatim #kadisporalumajang #kabidpemuda #bidangpemuda #16-30tahun #2023 #pemudajurnalis #jurnalismuda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Meriah! Hari Bhayangkara ke-78 Tahun Ini, Turut Dimeriahkan Oleh PJ Bupati Lumajang

LJJS Portal,  Lumajang - Pj Bupati Lumajang Indah Wahyuni, S.H., M.Si. menghadiri upacara Hari Bhayangkara ke-78 tahun 2024 yang dilaksanaka...