Oleh: Bunga Dyandraa
Apa itu gagal? Sebuah kata yang
sudah bersahabat lama denganku. Orang bilang setiap manusia pasti pernah gagal,
tapi menurutku, sepertinya cuma aku yang selalu gagal di dunia ini. Katanya,
hasil tidak pernah mengkhianati usaha. Namun bagaimana jika aku berkata
sebaliknya?
Hasil yang tidak setara dengan
perjuangan, ternyata sangat melelahkan. Rasanya dunia tidak adil. Dunia hanya
berpihak pada seseorang yang sempurna, lalu bagaimana denganku yang jauh dari
kata sempurna?
"Bunda," panggil ku dari
kejauhan.
"Kenapa sayang?Ayo sini sarapan
dulu," jawabnya, seraya tersenyum hangat kepadaku. Senyuman yang seketika
membuat kedua mataku lebih berwarna di pagi yang cerah ini.
Aku menarik napas panjang, selang
beberapa detik, aku mencoba meyakinkan diri untuk segera turun ke bawah.
Meskipun aku tahu bagaimana episode kehidupanku selanjutnya setelah ini.
Seragam putih dan juga abu-abu telah
menyelimuti badanku, seolah menjadi pengingat akan tempat yang harus aku
datangi saat ini. Tempat di mana hanya ada ketidakadilan dan juga hinaan. Ya!
Mereka semua sering melakukan itu kepadaku.
"Anak Bunda kok murung sih,
sini duduk sebelah Bunda," tuturnya. Kedua tangannya meraihku, kemudian
mencium keningku dengan lembut. Ini sudah menjadi kebiasaan bunda, ketika kita
mulai bertemu mengawali hari.
Aku menatap perempuan berwajah teduh
yang ada di hadapanku, dan kini aku sangat yakin untuk mengatakan suatu hal.
"Di-dian bolos sekolah aja ya, Bun? Dian tidak siap untuk pergi ke
sekolah," jawabku dengan nada terbata, kemudian menundukkan kepala.
"Hm, Bunda paham dengan yang
kamu rasakan, sayang. Tapi anak bunda kan kuat, mereka hanya tau cover kamu saja tanpa tahu kemampuanmu.
Jangan putus asa sayang, percaya deh. Tuhan sudah mengatur semuanya untuk kamu.
Bunda bantu doa dari sini ya," tutur Bunda.
Aku hanya bisa menghela napas
panjang, karena ini bukan kali pertamanya aku bercerita, dan Bunda selalu
menjawab dengan kalimat yang tidak jauh beda dari sebelumnya.
"Sayang, kamu mengerti kan
maksud, Bunda?" tanya Bunda padaku.
Aku mengangguk pelan, "Iya,
Bund. Dian mengerti."
Sambil mengusap ujung kepalaku,
"Gitu dong, ini baru anak Bunda." Bunda tersenyum padaku, seolah
memang sangat bangga karena telah memiliki anak sepertiku.
"Terima kasih, Bunda. Selama ini hanya Bunda yang
percaya kalau aku bisa. Aku berjanji, suatu saat nanti, Dian akan membuktikan
kalau Dian bisa! Dian janji sama Bunda! Dian janji!" Ku ulangi kalimat
tersebut, semata-mata untuk meyakinkan Bunda kalau Dian, putrinya, pasti bisa
membuatnya tersenyum bangga.
***
Dering bel sekolah berbunyi sebagai
tanda dimulainya pembelajaran.Saat ini aku yang tengah berdiri tepat di depan
kelas, mencoba menatap yakin ke depan sebelum melangkahkan kaki untuk masuk di
ruangan yang penuh dengan cacian.
Kedua tanganku masih memegang erat
tas punggung yang masih kurangkul, setetes keringat mulai mengalir dari
wajahku, membayangkan bagaimana hasil pengumuman nilai ulangan pekan lalu,
seketika membuat diri ini mulai merasa tidak percaya diri.
"Hfftt, pasti jelek lagi,"
gumamku dalam hati.
Baru saja aku menaruh tas dan
merebahkan pinggul di atas sepetak bangku, guru pengajar mulai memasuki kelas,
menaruh beberapa paket tebal serta kertas ulangan di atas meja. Kedua matanya
mulai menatap mengelilingi semua murid yang ada di dalam kelas, ketika ia
menghentikan tatapannya kepadaku, rasanya aku mulai yakin kalau aku akan
menjadi siswa dengan nilai terendah di kelas ini. Guru tersebut mulai memanggil
teman teman sesuai urutan absensi untuk pengambilan nilai.
"Dian!" Namaku terpanggil.
Aku berdiri dan melangkah ragu. Mengambil kertas ulangan yang berisikan nilai
atas namaku. Ya, benar! Prediksiku memang tidak pernah meleset. Lagi, lagi, dan
lagi, angka yang aku peroleh sangat rendah dibandingkan dengan teman - temanku.
"Ih, nilai mu kok jelek banget
sih, Dian! Coba deh lihat nilaiku ini, bagus, kan? Makanya, belajar dong!"
Putri memperlihatkan nilai ulangannya, nilai 98, angka yang cukup sempurna.
Putri tergolong siswi yang memiliki kemampuan akademik yang cukup tinggi. Namun
sayangnya sifatnya begitu sombong dan angkuh.
"Liat tuh nilai Dian, bikin
malu kelas aja!"
"Huuuuuu!!" sorak mereka.
Seolah mereka telah menjadi siswa sempurna di kelas ini.
"Sudah sudah, tidak perlu
seperti itu. Dian, lebih ditingkatkan lagi ya, belajarnya," ucap guru
melerai. Sepertinya Bu Guru tidak tega ketika melihatku yang mendapat sorakan.
"Si Dian itu, Bu. Dia memang
tidak pernah belajar, pasti dia selalu menonton televisi dan juga selalu
bermalas-malasan di rumahnya. Pantesan nilainya selalu di bawah KKM," tambah
Rani. Dia adalah teman sebangku Putri, jadi sangat wajar jika dirinya ikut
menghinaku seperti itu.
"Huhh!! Makanya, belajar
dong!"
"BRAKK!!"
Aku sudah tidak tahan mendengarkan
ocehan mereka. Aku menggebrak meja di depanku, rasanya sudah sangat muak dan
muak! Aku selalu belajar, tapi hasilnya selalu saja buruk. Lalu dengan mudahnya
mereka mengatakan hal itu, seolah aku tidak pernah berusaha. Aku tahu, lidah
memang tak bertulang, tapi jika bertulang pun, ingin rasanya aku mematahkan
lidah mereka satu per satu.
Aku langsung berdiri, lalu melihat satu per satu siswa yang
sudah menghinaku. Mereka juga melihatku dengan sorot mata tajam, seolah tengah
melihat pelaku kejahatan. Dan tak
menunggu waktu lama, aku langsung berlari dan menahan air mata yang hampir
tumpah seketika. Aku berlari menuju toilet sekolah, hanya dia tempat
satu-satunya yang biasa kujadikan tempat untuk mencurahkan semua air mata.
"Bunda… aku
membutuhkanmu," teriakku keras di dalam hati. Sambil berdiri menatap
cermin di toilet, terlihat bahwa tidak ada yang harus dibanggakan. Tuhan telah menciptakan manusia dengan kelebihan
dan kekurangannya masing – masing. Lalu di mana letak kelebihanku? Namun
tiba-tiba, terdengar derap langkah kaki seseorang.
"Hai,” panggil lirih seseorang
dibelakangku.Aku segera mengusap air mata di kedua pipiku, tak mau ada orang
lain yang tahu kalau aku sedang menangis
“Eh iya, ada apa?” jawabku gugup
sambil menoleh ke belakang.
"Kamu menangis?" tanya
seorang siswa yang tidak aku kenal sebelumnya. Ia memberiku sebuah tisu, namun
aku tidak mengambilnya.
"Enggak, kok. Cuma kemasukan
debu aja, ini juga lagi aku mencoba untuk membersihkannya," jawabku
berbohong.
Kemudian dia menarik kembali tisu
tersebut. “Oh, begitu! Yaudah, kenalin namaku Miko dari kelas 11 Mipa 8. Kalau
nama kamu?” Pria itu menjulurkan tangan kanannya.
Aku menatapnya ragu, anak yang aneh,
tiba-tiba datang dan mengajakku kenalan. Tapi sepertinya dia anak yang baik,
tidak seperti anak-anak di kelasku. Lalu kami segera mencari tempat duduk dan
akhirnya duduk di sebuah bangku panjang di samping toilet.
Aku membalas uluran tangannya. “Aku
Dian kak, dari kelas 10 IPS 1."
“Oh masih kelas 10, ya? Gimana
kelilipannya? Sudah mendingan?"
"Iya, sudah kok!"
"Beneran? Harusnya ada teman
yang membantumu mengeluarkan debu dari mata kamu, kenapa kamu nggak minta
tolong sama mereka?" tanya Kak Miko lagi.
Deg!
Aku Terdiam bisu! Tak tahu harus
menjawab apa dan bagaimana, karena bisa dibilang, aku tidak memiliki satu pun
teman di sekolah ini.
"Aku tidak memiliki teman di
sini, Kak," jawabku lirih.
"Mungkin karena aku anak paling
bodoh di kelas, jadi mereka begitu enggan untuk berteman denganku," jawabku lagi.
"Sudah, jangan berkata begitu.
Tidak ada manusia bodoh di dunia ini. Yang ada adalah manusia yang diciptakan
dengan kemampuan dan bakat yang berbeda!"
Tak lama kemudian, Kak Miko
menceritakan kisahnya. Tentang perjuangan ia bangkit dari segala rasa sakit
kala itu. Seketika aku berpikir, apa aku tidak bisa seperti dia? Pikiranku terbuka lebar, seketika muncul
tekad bahwa aku harus bisa membuktikan, bahwa aku mampu untuk menggapai itu semua. Menggapai
keberhasilan lebih tepatnya.
“Sudah ada gambaran? Jangan
menyerah, yah."Aku masih diam sambil terus memandang wajahnya.
"Cari aja aku, kalau kamu butuh. Aku pergi dulu ya,” pamitnya meninggalkanku.
"Tunggu, Kak—" Kak Miko
berhenti. Kemudian dia menoleh ke belakang.
"Terima kasih banyak."
Sambil tersenyum hangat padanya. Ini adalah wujud terima kasih, karena dia
sudah memberiku semangat baru.
"Iya, sama-sama." Sambil
mendaratkan senyuman di bibirnya, kemudian melangkahkan pergi.
Aku segera berdiri, dan mulai
berusaha menimbulkan kepercayaan diri pada hatiku. "Benar bahkan sangat
benar. Tidak seharusnya seperti ini. Hasil akan terlihat jika kita berusaha
lebih giat. Semangat, Dian! Ayo, semangat!" seruku dalam hati. Namun nyatanya, hari-hari selanjutnya,
aku menjalani hari dengan kehampaan. Seperti biasa, hanya ditemani oleh
harapan.
Setiap pagi, aku selalu menahan bola
mata yang sulit untuk terbuka. Hari ini telah berhasil aku lewati walaupun
harus dengan tangisan.Aku menuju balkon di sebelah kamarku. Menatap langit
malam yang gelap, namun masih beruntung karena malam ini terlihat pemandangan
bintang yang bersinar begitu terang. Bintang tersebut seakan melihat ke arahku,
menunjukkan sinarnya yang begitu terang, seolah sedang menyapaku!
Aku segera tersenyum ke arah mereka, sambil
bertanya pada diri sendiri, kapan kiranya ada secercah bintang yang akan
menghiasi namaku. Heheh! Konyol! Meskipun aku tahu kedengarannya mustahil, tapi
anehnya, selalu ada harapan yang besar di dalam hatiku.
***
Sinar matahari berhasil menembus
tirai kamar, seolah berusaha membangunkanku dari mimpi semalam.Segera ku buka
tirai kamar dan mengucapkan selamat pagi pada semesta. Selamat pagi bukan hanya
sekedar kata. Itu adalah tindakan dan keyakinan untuk menjalani hari dengan
baik. Pagi yang penuh harapan namun selalu diterjang habis oleh kenyataan.
"Semangat sekolahnya,
sayang," tutur lembut Bunda meninggalkanku disekolah. Kalimat yang setiap hari aku dengar, namun
rasanya juga tidak pernah bosan.
"Minta perhatiannya,
murid-murid!" Guruku datang dan semua murid langsung terdiam.
"Ada informasi dari sekolah
bahwa diadakan lomba publik speaking tingkat kabupaten. Tiap sekolah hanya
boleh mengirimkan 1 perwakilan, apa ada yang mau mendaftar?" ucap guru di
kelasku.
"Saya bu," jawab Putri
dengan lantang dan satu kelas bergemuruh memberikan tepuk tangan.
Entah mengapa seketika muncul rasa
percaya diri dalam diriku. Berpikir bahwa aku bisa. Tanpa keraguan sedikit pun,
aku pun berkata.
"Saya juga bersedia bu,"
jawabku tegas, berhasil membuat semua mata tertuju kepadaku.
Melihat dari tatapan mereka saja,
sudah terlihat begitu jelas, kalau respon yang aku peroleh sangat berbeda
dengan Putri, teman teman malah menertawakan ku. Sudah biasa diremehkan, aku
kebal dengan ini.
“Baiklah,
ikuti seleksi di halaman sekolah ya. Yang lain silahkan melihat rangkaian acara
seleksi,” kata penutup dari wali kelas.
Entah apa yang membuatku menjadi
sangat percaya diri. Persiapan dilakukan, mencari informasi tentang bagaimana
publik speaking yang benar. Namun guncangan tak berhenti, terus saja datang
ingin meruntuhkan tekad kuat ku.
“Heh kamu! Yakin mau lawan si Putri?
Gak malu tuh, kalau kamu kalah bagaimana?” "HAHHAHAH!"
“Iya
nih, PD banget sih jadi orang. Benerin dulu tuh nilaimu, awas aja masih malu –
maluin.” Aku
hanya diam dan diam.
Tidak masalah, aku sudah terbiasa.
Mereka hanya bisa berkomentar tanpa melakukan. Setidaknya aku lebih percaya
diri ketimbang mereka. Mulai beranjak dari bangku dan menuju halaman sekolah
untuk mengikuti seleksi.
“Loh,
kamu ikut Dian?” sapa Kak Miko padaku.
“Hehe, iya kak," jawabku dengan
malu-malu.
“Sip, keren. Lanjutkan, semangat ya,
aku dukung kamu terus!” ucapnya yang membuatku tersenyum lebar. Karena tidak
pernah ada yang mendukungku seperti ini. Bisa dibilang kalau Kak Miko adalah
satu-satunya siswa yang mendukungku di sekolah ini.
Satu per satu peserta dipanggil.
Rasa grogi kian memuncak saat Putri selesai tampil, sorakan begitu meriah yang
ia dapati. Anak multitalenta ini memang sudah dikenal oleh siswa- siswi, bahkan
para guru. Jadi tak heran bila seperti ini.
Kini giliranku. Entah angin apa yg
menerpa diriku. Begitu namaku dipanggil, aku seperti terhipnotis oleh mimpiku.
Tak ada rasa ragu, tak ada rasa gentar. Yang ada, adalah sosok Dian yg penuh
percaya diri.
BUGG! Sial! Badanku tersungkur ke
depan. Sebelum tampil aku harus menanggung malu karena terjatuh saat menaiki
tangga panggung. Karena siapa? Putri. Gadis itu sengaja membuatku terjatuh
dengan menyelipkan kakinya dalam langkahku.
Aku mengkondisikan diri untuk tetap
tampil dengan kemampuan yang ku miliki. Tak percaya, namun ini lah
kenyataannya. Semua mata tertuju memandangku, terpaku, dan begitu takjub. Ketika aku sudah selesai tampil,
Putri langsung memicingkan bibirnya.
“Put, apa apaan sih?” tanyaku
padanya.
“Kenapa? Malu ya? Mangkanya jangan
sok sok an buat nyaingin!” jawabnya ketus.
“Gak
ada yang nyaingin kamu. Kamu aja yang merasa tersaingi. Ini curang!” jawabku
tegas.
“Kita lihat saja siapa yang menang,”
jawabnya dengan nada angkuh.
Tanganku ini rasanya sudah gatal
untuk menampar pipinya. Dia cerdas tetapi tidak mencerminkan sebagai anak
cerdas. Ia selalu menganggap remeh temannya bahkan sampai melakukan kecurangan
hanya karena ingin tetap dipandang. Seluruh peserta telah tampil, hal yang
ditunggu - tunggu telah tiba. Apa lagi jika bukan pengumuman lomba.
“Baiklah, dari hasil seleksi kami
putuskan yang akan mewakili sekolah dalam lomba publik speaking yaitu Dyandra,”
ucap juri seleksi.
Hah! Apa? Aku tidak salah dengar? Seketika keringat membasahi
tubuhku. Tak percaya bahwa ini terjadi, seperti mimpi namun nyata. Sorak dan
tepuk tangan ku dapati dari seluruh warga sekolah. Aku langsung tersenyum
menanggapi tepukan tangan mereka, sekaligus merasa sangat bersyukur. Namn
tiba-tiba Putri datang menghampiriku, entah apa yang akan dia katakan. Ucapan
selamat kah, atau justru sebaliknya.
“Heh, lo nyogok juri ya?!” tanyanya
penuh dengan emosi.Baru saja aku ingin menjawab pertanyaannya, namun seseorang
sudah terlebih dulu menjawabnya.
“Tutup mulut kamu! Nggak seharusnya
kamu ngomong seperti itu ke Dian!” jawab Kak Miko dari kejauhan. Ia datang
disaat yang tepat. Jika terlambat sedikit saja, mungkin sudah beda cerita.
“Buat apa belain dia Kak? Dia tuh
bodoh!” jawab Putri kasar.
“Dia bodoh tapi mampu mengalahkan
kamu, kalau begitu, kamu lebih bodoh dari dia dong! Asal kamu tahu, ya, setiap
orang punya kelebihan masing – masing. Inget, Tuhan juga punya takdir! Modal
apa kamu mau melawan takdir Tuhan? Saya akui kamu pintar, tapi bukan berarti
orang lain tidak bisa,” ucap Kak Miko tegas.
“M-maaf mencela. Lebih baik tidak
perlu berantem seperti ini,” tuturku. Lalu meninggalkan Putri dan juga Kak
Miko. Di hari bahagiaku ini, aku tidak ingin terjadi keributan.
***
Suasana mendadak sunyi. Keheningan mulai kurasakan.
Angin yang meniup kencang seakan menghidupkan situasi mencekam ini.
“Hm, Dian,” panggil Putri lirih.
“Iya kenapa put?” jawabku.
“Selamat ya, maaf sebelumnya,”
ucapnya ragu.
Sebenarnya aku mengerti perasaannya.
Putri yang selalu diandalkan dalam segala aspek di sekolah, seorang anak
multitalenta itu gagal dalam seleksi. Raut wajahnya menggambarkan kekecewaan
yang mendalam.
Aku segera meraih kedua tangan
Putri. “Terimakasih Put, tetap semangat ya. Aku paham kok, maaf banget kalau
karena ku, kamu jadi gagal,” jawabku.
“Eh engga kok, memang awalnya aku
kaget. Tapi setelah Kak Miko bilang tadi, aku menjadi sadar kalau roda terus
berputar."
"Tidak selamanya aku harus
berada di atas. Dan pastinya, nanti aku juga berada di bawah. Namun hal itu
tidak menjadi masalah lagi bagiku."
"Aku senang karena kamu
akhirnya bisa sadar, Put," ucapku.
"Aku juga senang, karena masih
diberi kesempatan untuk sadar dab berubah menjadi seseorang yang lebih baik
dari sebelumnya." Putri segera merangkulku, ini adalah pertama kalinya dia
mau merangkul orang sepertiku.
"Selamat berlomba di tingkat
selanjutnya ya Dian,” ucap Putri. Seraya menopangkan dagunya di pundak kiriku.
“Gini dong, baru mencerminkan anak
pelajar. Lebih hargai perbedaan lagi ya, kalian seperjuangan harus saling
menguatkan!" ucap Kak Miko yang tiba-tiba datang. Kebetulan ini masih jam
istirahat, jadi dia masih bisa masuk ke dalam kelasku.
"Terima kasih banyak,
Kak."
Kak Miko tersenyum kepadaku lalu
menganggukkan kepalanya, "Sama-sama, Dian!"
Inikah jawabanmu tuhan? Inikah yang
akan kau berikan kepadaku? Disaat aku mengira bahwa diriku tidak ada yang dapat
dibanggakan, namun ternyata salah. Tuhan telah menciptakanku dengan begitu
sempurma. Kenapa sempurna? Karena sesungguhnya kesempurnaan adalah milik mereka
yang mau menutupi kekurangan dengan kelebihannya yang lain.
Saatnya kembali terjun dalam medan
perang, rela meninggalkan tidur hanya demi meraih kejuaraan untuk membanggakan
diri, orang tua dan sekolah. Dan hari itu pun telah tiba.
“Selamat ya Dian, selamat berproses.
Semoga keberuntungan berpihak padamu.”
“Semangat terus Dian, kita dukung
kamu ya!”
Kata- kata yang terlontar dari mereka membuat semangatku semakin membara. Mereka mungkin tidak menuntutku, tapi jelas bahwa harapan mereka sangat besar kepadaku. Rencanamu sungguh indah, Tuhan. Kini, gagal atau tidaknya ku serahkan padamu.
Berproses
untuk menjadi lebih baik memang tidak gampang. Tapi selalu ada hasil di setiap
usaha yang kita lakukan. Manusia diciptakan dengan berbagai macam keberagaman
kelebihan serta kekurangan. Maka dari itu perlu adanya interaksi untuk saling
melengkapi.
Untuk kalian yang masih gagal, jangan menyerah. Pasti ada
binar yang akan menerangi. Pesan dari aku, semangat terus ya!
#ljjs #pemudalumajang #profilepemuda #portalljjs #lumajangkab #journalist #disporalumajang #disporajatim #kadisporalumajang #kabidpemuda #bidangpemuda #16-30tahun #2023 #pemudajurnalis #jurnalismuda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar