Visitor

Senin, 09 Oktober 2023

Aku pamit ya?

Bunga Dyandraa

(sumber gambar: https://tinyurl.com/49ad5hyb)


Gemetar sekujur badan menjadi hal yang sudah biasa ku terima. Luka sayat memenuhi tubuh, disusul darah yang mengalir. Semua manusia tak akan ada yang tahu, kapan perjalanan hidupnya akan berhenti. Tapi aku tahu, bahwa aku tak lama lagi.
Telingaku berisik, mendengarkan ocehan keributan orang tuaku yang tak kunjung usai. Hal kecil pun akan menjadi besar.
“Ma, Pa. Bisa udahan berantemnya? Aku capek, aku butuh istirahat,” rintihku. 
“Kamu diam ya! Tidak ada yang berbicara dengan kamu! Dasar anak tidak tahu diri, pergi kamu!” bentak Papa kasar.
“Oke!Aku pergi! Ma, Pa, aku gak pernah minta dilahirin. Kalau boleh minta pun, aku gak akan sudi minta dilahirin di keluarga ini!” 
Plakkk...dugg...
Tamparan keras serta dorongan hingga kepalaku terbentur, kini aku rasakan. Tidak!Ini tidak sakit, sama sekali tidak sakit bagi mereka. Tuhan, aku pasrah. 
“Sel, malam ini gue bisa tidur dirumah lo?” ucapku di telepon.
“Kenapa.Ra? Capek ya? Sini aja.” Tangisku pecah. Hanya Sellina yang mengerti, hanya dia yang tahu tentang semua yang aku rasakan. 
Kaki ini melangkah dengan banyaknya beban yang ditampung. Nafas sesak dengan kaki gemetar tak sanggup menyongsong tegaknya tubuh. Aku tergeletak di tepi jalanan. 
Selang waktu, mataku terbuka. Menatap dinding langit dengan pandangan sedikit kabur. Aku melihat sekeliling, Sellina ada disini. 
“Ra, lo gak papa kan? Sumpah, gue khawatir banget,” ucap Sellina.
“Gue gak papa.”
“Lo kenapa telat cuci darah lagi sih? Ayo dong jangan disepelein.”
“Cuci darah cuma untuk mengulur kematian gue, bukan nyembuhin gue, Sel.”
“Lo ngomong apasih. Gue telfon orang tua lo ya?” tanyanya.
“Gak usah, Sel. Biar aja.”
Aku tak ingin merepotkan mereka. Walaupun mereka mengetahui ini semua, mereka juga tak akan peduli kan? Aku hanya anak sial dan tak tahu diri. Entah kenapa air mata tak berhenti mengalir. Bukan kah sudah biasa?
Suara monitor detak jantung terus berbunyi membuat suasana hati  gaduh. Jika detak ini berhenti, apakah orang tuaku akan peduli? 
Drttt....drrttt.... ( suara telepon )
“Dasar anak tidak tahu diri. Sudah dikasihanin malah ngelunjak. Kemana aja kamu?! 2 hari gak pulang, mau jadi apa?” bentak Mama di telepon.
“Kapan Mama kasihan sama aku? Oke, aku pulang. Tapi nanti kalau aku sudah gak bisa pulang lagi  jangan sedih ya, Ma,” tuturku.
“Berisik! Pulang kamu sekarang!” akhir percakapan telepon kita. 
Aku melihat sekitar, Dokter Evan dan Sellina sepertinya mendengar jelas percakapanku melalui telepon. Mata mereka berlinang, seakan memberikan rasa sayang yang sebelumnya tak pernah aku dapat.
“Dok, saya harus pulang.”
“Tidak, Naraya. Kondisi kamu masih buruk.”
“Saya harus pulang, Dok. Tidak masalah, saya akan baik-baik saja,” jawabku.
Aku menatap mata Sellina yang kini meneteskan air mata. Dua bola mata kita saling  menatap, seakan terdapat pesan sirat memberikan semangat. 
“Tenang, semua akan baik baik saja,” ucapku menenangkan Sellina. 
Diperjalanan, aku tak berhenti menatap kaca mobil sembari melihat keindahan dunia. Pikiran kosong dan hati ini hampa, sempat terpikir bahwa dunia akan bersedih bila kehilangan diriku.
“Sellina, Naraya, ayo masuk,” sambut Mama dengan kedatanganku dan Sellina.
“Maaf tante, Naraya kemarin bermalam dirumah Sellina,” jawab, Sellina.
“Oh, iya gak papa dong. Terima kasih ya sudah antar Naraya pulang,” jawab Mama.
“Iya sama-sama tante. Sellina pamit.”
“Hati-hati ya,” tutur Mama mengakhiri.
Setelah Sellina pulang, Mama mendorongku masuk rumah hingga aku terbaring di lantai. Papa datang lalu menamparku. Ini menyiksa, mereka terlihat baik dihadapan Sellina, pencitraan macam apa ini?
Darah mengalir di hidungku, kesadaran ku sudah tak penuh lagi. Inikah saatnya, Tuhan? 
“Bapak,Ibu, cukup. Kasihan non Naraya,” teriak Bibi. Air mata ini menetes, orang lain saja peduli, tapi kenapa orang tuaku tidak?
“Minggir, Bi. Tidak usah membela Naraya!”
“Pak, Bu. Non Naraya sakit keras, jangan sakiti dia lagi.”
“Maksud Bibi?”
Tak tahu apa lagi selanjutnya. Tiba-tiba aku berada dirumah sakit, banyak jarum yang menusuk tubuhku. Aneh, Mama Papa ada disini bersama dengan Sellina, Dokter Evan dan juga Bibi. 
“Naraya, maafin Mama sayang. Kenapa kamu menyembunyikan ini semua?” tutur tangis Mama.
“Buat apa Naraya ngomong, Ma. Apakah Mama Papa juga akan peduli?”
“Maafin Mama sama Papa sayang, kita janji akan jagain kamu,” rayu Mama Papa dengan menangis.
“Tidak usah repot-repot Ma, Pa. Mama Papa gak perlu sedih. Ini kan yang kalian mau?Supaya aku pergi dari kehidupan kalian. Aku lakuin Ma. Aku akan pergi selamanya.”
“Naraya tolong tetap bertahan. Kalau lo gak mau bertahan demi orang tua lo, setidaknya lo bertahan buat gua,” ucap Sellina menyela.
“Makasih Sel, makasih sudah menjadi tempat untuk gue pulang. Tapi maaf, gue harus pergi. Tuhan sudah nungguin gue. Jaga diri baik baik ya, Sel. Gue akan terus sayang sama lo,” rintihku.
“Dokter Evan, makasih sudah merawat Naraya selama ini. Bibi, terima kasih juga ya,Bi. Naraya sayang banget sama Bibi. Kita ketemu di surga nanti ya.”
“Aku pamit ya?” 
Nyawaku lepas dari ragaku. Aku melihat Sellina, Mama, Papa, Bibi dan Dokter Evan menangis memeluk tubuhku yang terbaring. Inikah kematian? 
Mengapa orang tuaku menangis? Apakah masih ada rasa sayang? Tapi terlambat. Ma, Pa jaga diri baik-baik ya. Kalian harus hidup bahagia dengan kepergianku. Sampai bertemu di dunia aku nanti, selamat tinggal. Aku akan selalu sayang. 

- Naraya Dareen -
Karya ini juga terbit di Readerzen Publisher & Writer Community
PT. Readerzen Tanggap Literasi

#ljjs #pemudalumajang #profilepemuda #portalljjs #lumajangkab #journalist #disporalumajang #disporajatim #kadisporalumajang #kabidpemuda #bidangpemuda #16-30tahun #2023 #pemudajurnalis #jurnalismuda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Meriah! Hari Bhayangkara ke-78 Tahun Ini, Turut Dimeriahkan Oleh PJ Bupati Lumajang

LJJS Portal,  Lumajang - Pj Bupati Lumajang Indah Wahyuni, S.H., M.Si. menghadiri upacara Hari Bhayangkara ke-78 tahun 2024 yang dilaksanaka...